Yesus Dipersembahkan di Kenisah

February 2, 2020

Maleakhi 3:1-4
Mazmur : Mzm 24:7.8.9.10
Bacaan 2 : Ibrani 2:14-18
Injil : Lukas 2:22-40

Kayaknya aneh, kita sudah menghayati Yesus yang tampil sebagai orang dewasa, tapi kok kita diajak untuk melihat bayi Yesus? Kita bisa menjawab ini khan mengikuti tradisi. Kita bantah bukankah itu tradisi Yahudi? Apa relevansinya dengan kita?

Gereja tentu tidak menitikberatkan pada tradisi persembahannya, tetapi bagaimana pun, Kristus lah yang menjadi pusat pewartaan.

Kalau kita menengok Pesta Pembaptisan Tuhan dan Minggu Biasa II, kita menemukan Yesus dideklarasikan oleh Allah lalu oleh Yohanes Pembaptis. Keduanya adalah deklarasi publik, umum, di hadapan banya orang. Pada Pesta Yesus Dipersembahkan ini, kita juga menemukan unsur deklarasi itu, yaitu oleh Simeon dan Hana. Tidak lagi publik, tetapi private, dari diri individu. Bagi mereka Yesus adalah cahaya dan terang bagi bangsa-bangsa dan pembawa pelepasan dari Yerusalem.
Iman kita akan Yesus pun bersifat private. Jadi deklarasi apa yang bisa kita katakan untuk Yesus, seperti halnya Simeon dan Hana? Apakah Yesus bagiku?

Kita akan terbantu kalau kita berada dalam konteks Simeon dan Hana sesuai dengan gaya Lukas mengeja kata Yerusalem dalam bahasa Yunaninya. Saat Maria dan Yusuf mempersembahkan bayi Yesus, hal itu terjadi di “Hierosolyma” (yang artinya kita yang terberkati, kota baik yang penuh dengan syalom). Tetapi setelah itu, pada peristiwanya Simeon dan Hana, Yerusalem ditulis dengan “ierosaleem” (kota yang penuh dengan kezaliman karena penolakan mereka terhadap kehadiran Allah, kehadiran Yesus.
Meski hidup dalam “ierosaleem”, Simeon dan Hana berada dalam status bathin “hierosolyma” sehingga mereka bisa menatang dan membicarakan tentang Anak ini (Yesus).
Bagaimana dengan kita? Suasana bathin kita menunjukkan “hierosolyma”? Atau “ierosaleem”?

Perhatian dan refleksi terhadap tiga hal ini dapat membantu kita untuk mengenali status bathin kita. 1) perhatikan kata-kata kita. Kata yang menyejukkan, lemah lembut, membangkitkan smeangat hidup (“hierosolyma”) atau kata-kata kasar, kebun binatang, yang mematikan, menuduh, mengadili dengan gosip dan cerita tak benar (ierosaleem)? 2) pikiran kita. Manakah yang menonjol di benak dan pikiran kita? Pikiran yang menyegarkan, pikiranbyang kreatif demi membangun komunitas, pikiran-pikiran yang mengembangkan mengkondisikan perkembangan oran (“hierosolyma”). Ataukah pikiran yang seronok, menembus pandangan fisik karena penuh pornografi. Pikiran-pikiran yang menyelidik, rancangan jahat dan menjebak (ierosaleen).

3) Perbuatan. Sama. Manakah yang mendominasi perbuatan-perbuatan kita? Perbuatan-perbuatan yang membawa berkat, kebaikan dan kesejahteraan (“hierosolyma”)? Ataukah perbuatan-perbuatan yang mengkerdilkan dan menghambat orang; perbuatan yang membunuh karakter, karier dan masa depan orang (“ierosaleem”).

Kalau kita berada pada “ierosaleem”, mari kita menatang dan menceritakan tentang Anak ini, Yesus dan Roh Kudus seperti Simeon dan Hana. Mereka mengayati hidup hierosolyma dalam dunia yang penuh dengan ierosaleem. Mereka berhasil begitu karena mengarhkan hidupnya pada penantian penuh kesetiaan terhadp Kristus.