Senin Paska III-A
April 27, 2020
Kisah Para Rasul 6: 8-15; Yohanes 6: 22-29
Dalam dunia bisnis, ada latihan yang diberi judul “Performance of Excellence”. Latihan ini mengajak kita untuk mewujudkan diri dengan mengagumkan bukan hanya dalam hidup pribadi tetapi juga terutama dalam karier, dalam pekerjaan. Stephen Covey merumuskan hal ini dengan istilah “highly effective people”, yang bisa dicapai dengan menguasai tiga hal: membiasakan kemenangan pribadi, membiasakan kemenangan publik dan terus menerus “mengasah gergaji”. Orang lain menyebutnya dengan istilah “passion”; penampilan dan cara melakukan pekerjaan seseorang bisa kelihatan wajah dan bahasa tubuhnya memancarkan “passion” apa tidak.
Inilah kira-kira yang dialami oleh Stefanus. Ketika ia dihadapkan ke Mahkamah Agama, semua orang yang duduk di situ menatap Stefanus, lalu mereka MELIHAT MUKA STEFANUS SAMA SEPERTI MUKA SEORANG MALAIKAT. Mengapa Stefanus memiliki passion seperti itu? Mengapa Stefanus memiliki “Performance Of Excellence” seperti itu? Sejak awal Stefanus adalah seorang “diakon”. Sebagai anggota Jemaat Perdana yang aktif, Stefanus bukan hanya dekat dengan peristiwa dan cerita kehidupan Yesus. Ia tidak hanya mengalami pengalaman fisik, tetapi ia pasti juga mengalami “proses penglihatan bathin”. Kiranya pengalaman itulah yang mendorong Stefanus: ingin menjadi bahagia, meskipun tidak melihat; mengalami “consolation” dalam keadaan apa pun, sekalipun harus mengalami kesulitan dan penderitaan fisik. Inilah yang menjadi “motivasi”, hal-hal yang mendorong dan menggerakkan Stefanus dalam mewartakan Kristus, Sang Kabar Gembira.
Motivasi Stefanus benar dan murni, sehingga ia penuh dengan hikmat dan kata-katanya didorong oleh Roh Kudus. Kemurnian dan ketepatan motivasi sangat diperlukan sebab bila tidak kita hanya dipenuhi dengan basa-basi, apa yang kita lakukan selalu kelihatan baik (“look good“), kita menampilkan diri baik supaya dipuji, supaya diterima, supaya dinaikkan pangkat dan gaji kita, dsb. Kemurnian dan ketepatan akan membuat kita seperti Stefanus: bernampilan excellence demi tujuan, panggilan yang benar.
Inilah yang dikehendaki Yesus, ketika Ia menegur orang-orang yang berbasa-basi, “Rabi, bilamana Engkau tiba di sini?”. Ia menangkap bahwa motivasi mereka mencari dan menjumpai Yesus adalah karena mereka telah kenyang. Yesus mengajar mereka agar memurnikan motivasi mereka mencari dan menemui Yesus: “Bekerjlah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal”. Untuk itu Ia mengundang mereka untuk “percaya kepada Dia yang telah diutus Allah”. Kepercayaan itu bukan hanya meyakini, berpasrah kepada Dia dan apa yang dikatakan. Ungkapan kepercayaan secara aktif berarti mengubah diri untuk menjadi (seperti; menyerupai) Dia. Orang yang percaya -seperti diajarkan St. VInsensius dengan mengutip Paulus- harus mengusahakan untuk mengenakan Yesus dalam dirinya, sehingga pikiran, kata-kata dan tindakanya adalah benar-benar pikiran, kata-kata dan tindakan Yesus sendiri.
Mari menengoh ke dalam kerohanian kita? Apakah yang mendorong kita selama ini untuk mengikuti Kristus? Apakah kita sudah mengusahakan untuk terus menerus memurnikan motivasi kita? Sudah kah kita mengusahakan mentransformasi diri, mengubah dan mengusahakan diri kita makin hari makin menjadi (seperti, menyerupai) Kristus?