Selasa Paska III-A

April 28, 2020

Kisah Para Rasul 7: 51 – 8:1a; Yohanes 6: 30-35

 

Suasana serba “sulit” menaungi renungan saya atas bacaan-bacaan hari ini. Ekonomi harus diakui semakin sulit; banyak orang harus dirumahkan dan menganggur; banyak orang susut penghasilan bahkan sama sekali tidak mempunyai penghasilan. Hidup sosial juga semakin sulit; satu harus berjauhan dengan yang lain, apalagi kalau daerah kita sudah mendapat sebutan “zona merah”. Berbicara dengan orang lain harus pakai masker, sehingga orang tidak tahu lawan bicara itu tersenyum atau mencibir.

Bahkan untuk bersikap pribadi sekarang ini juga sulit: mau stay at home saja membutuhkan perjuangan yang sangat berat; ada saja alasan: di rumah tidak ngapa-ngapain, mau bikin ini bikin itu, sudah dilakukan semua; mau beres-beres rumah, malah bawaannya sedih karena ditarik pada nostalgia lama. Apa kabar keluarga? anak? cucu? keponakan? semua jadi diingat dan mencari pembenaran untuk melanggar stay at home. Pergi keman saja jadi repot; kalau kita tidak pakai masker, kita akan disuruh kembali; kalau mau ke pasar dan kita memaksakan diri tanpa masker, pemerintah akan mengkarantinakan kita. Jadi memang semua serba sulit.

Bacaan-bacaan hari ini berkaitan dengan ke”sulit”an itu. Stefanus mengalami kesulitan meyakinkan orang-orang Yahudi, bahkan Mahkamah Agama, mereka yang ahli tentang ajaran-ajaran dan nubuat-nubuat yang ada di Kitab Suci mereka. Meski sudah diingatkan akan sikap leluhur mereka. Kesulitan Stefanus bukan hanya meyakinkan tetapi bagaiman menghindari penangkapan dan penyiksaan. Kalau toh gagal meyakinkan, Stefanus berhadapan dengan kesulitan dalam bentuk penderitaan; hukuman fisik yang akhirnya ternyata lemparan batu, bukan hukuman rajam, tetapi kebrutalan massa. Tetapi Stefanus dengan mantap dan tegar hati, menengadahkan wajah melihat ke atas, ke langit, ke surga; dan ia melihat pintu langit terbuka dan melihat Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah. Dan lebih mengagumkan lagi, ia masih mendoakan mereka yang melemparinya, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka.”.

Sebaliknya, Injil menunjukkan orang-orang yang tidak mau mengalami kesulitan. Mereka mencari Yesus karena telah makan dengan mudah dan kenyang. Nafsu ini semakin menggebu-gebu ketika Yesus mengatakan adanya “roti yang turun dari surga dan yang memberi hidup kepada dunia”; mereka langsung meminta roti itu, “Maka kata mereka kepadaNya, ‘Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa'”, supaya mereka tidak lagi repot-repot mengalami kesulitan untuk mencari roti/makan.

Merenungkan tentang kesulitan, saya ingat ajaran pembimbing rohani, yang menjadi semangat rasul-rasul awam militan, seperti pengikut-pengikut Kristus. Semangat mengikuti Kristus pada level terendah itu nampak dalam sikap orang “yang mau ASAL TIDAK SULIT”. Mereka ini mengikuti Kristus asal diberi 100 kali lipat; memperoleh dalam kelimpahan; barang-barang duniawi. Mereka ini akan lari ketika berhadapan dengan kesulitan dana ancaman.

Level kedua adalah semangat mengikuti Kristus yang “mau MESKIPUN SULIT”. Mereka yang tergolong pada level semangat ini mau dan rela menderita kesulitan sebagai resiko, konsekuensi dari mengikuti Yesus. Ia mau menunjukkan sikap ksatria, tidak mau ingkar pada janji; sudah terlanjur dibaptis, jadi ya mau tidak mau ya harus dijalani. Mereka ini akan mengalami kegembiraan kalau penderitaan dan kesulitan diambil, diambil alih atau didispensasi.

Level ketiga dan yang tertinggi adalah sikap yang “MAU JUSTRU KARENA SULIT”. Semangat ini adalah semangat Yesus sendiri. Ia tahu bahwa fitnah, penderaan dan penyiksaan akan diterima; orang-orang akan meneriakkan kata-kata kebencian; disalibkan tanpa kesalahan. Tetapi Ia berani mengatakan “Bukan kehendakKu yang terjadi, tetapi kehendakMulah yang terjadi”. Dengan bahasa semangat ini, Ia mengatakan “Aku MAU JUSTRU KARENA ini memang sulit”. Semangat ini memang mengandung semangat yang kedua, tetapi mereka menyertai dengan sikap penyerahan aktif kepada Penyelenggaraan Ilahi. Inilah kiranya yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengatakan “Akulah roti hidup! Barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepadaKu, ia tidak akan haus lagi”. Kepercayaan adalah dorongan untuk mengidentifikasikan diri kita dengan yang kita percayai. Orang yang percaya diundang untuk mentransformasi dirinya menjadi pribadi yang dipercayai.

Kita percaya kepada Kristus, yang memberikan TubuhNya. Dan kita sering mengkonsumsi TubuhNya itu. Sudahkah kita mentransformasi semangat kita menjadi semangat Kristus sendiri? Aku mau JUSTRU KARENA SULIT.