Sapaan Gembala
December 29, 2019
Sirakh 3: 2-6. 12-14; Kolose 3: 12-21; Matius 2: 13-15. 19-23
Perayaan Ekaristi di area Kota Baru ini memang telah dimulai sejak tahun 1960an (lihat Sejarah di dalam “Profile”). Tempatnya pun berpindah beberapa kali sampai akhirnya menetap di tempat yang sekarang ini. Namun Keuskupan menentukan sebagai Paroki pada tanggal 01 Januari 2000. Maka tahun depan ini, kita merayakan 20 tahun berdirinya gereja kita sebagai Paroki.
Saat ini menjadi kesempatan yang baik bagi kita baik sebagai keluarga masing-masing maupun sebagai satu paroki untuk merenungkan bagaimana kita membangun keluarga. Dari perayaan hari ini, kita belajar dari St. Yusup.
Bertitik tolak dari pengalaman Penyelidikan Kanonik selama ini, hampir 90 % pasangan itu sudah berpikir untuk merencanakan 2 anak saja; kalau toh diberi lagi, satu saja. Jadi tiga anak. Apa alasannya? Kebanyakan mereka menjawab: harga susu mahal, biaya pendidikan mahal, kalau mau berobat, rumah sakit-rumah sakit, termasuk sebagaian mengatakan apalagi, rumah sakit Katolik, mahal. Supaya mereka bisa hidup, bertumbuh dan berkembang dengan baik, ya jumlah anak harus dibatasi.
Alasan ini kelihatannya benar dan bijaksana. Tapi kalau dianalisis mendalam, ini alasan orang yang tidak percaya akan Allah atau bahkan melawan Perintah I. Alasan itu mau menunjukkan bahwa harta, penghasilan keluarga lah yang paling menentukan hidup. Hanya dengan penghasilan dan kekayaan yang kami miliki maka anak-anak bisa bertumbuh dengan baik, bisa mengenayam pendidikan yang baik dan bisa dijamin kesehatan dan masa tua mereka. Benarkah? Lalu dimana letak peranan Allah sebagai sumber kehidupan. Bagaimana kalau ternyata Allah memanggil satu dari anak di usia muda?
Ditambah lagi. Pemikiran itu juga menyiratkan bahwa nasib anak-anak ada pada kemampuanku untuk mencari uang, untuk memperoleh penghasilan. Semakin aku menjadi luar biasa, semakin anak-anak mendapat jaminan apa saja: hidup, kesehatan, pendidikan, dsb.
Memang pemikiran ini tidak hanya terjadi pada calon-calon pasangan, tetapi bisa juga terjadi pada kebanyakan kita saat ini. Saya menjumpai orangtua yang dirawat oleh pembantu, suster perawat. Mengapa, karena anak-anak pada sibuk kerja. Mereka memanfaatkan uangnya untuk merawat dan memelihara orangtua.
St. Yusup mengalami hal yang sama. Ia menghadapi hal yang memalukan; ia harus mengambil tindakan untuk orang lain, menyelamatkan harga diri Maria dan terlebih memberi kesempatan Allah menyelamatkan banyak orang. Ternyata bukan hal yang menggembirakan: mereka harus mengadakan perjalanan untuk mendaftarkan diri. Saat melahirkan pun hanya menemukan kandang untuk melahirkan dan menempatkan bayi. Eskalasi panasnya politik terasa ketika Herodes tidak bisa menerima kedatangan Kristus, Mesias, Dia yang terurapi (jangan-jangan menjadi “Raja”). Ia pun harus mengungsi, tidak tanggung-tanggung, ke Mesir, yang jaraknya 240an km. Ketika Herodes pun meninggal, ia pikir keadaan sudah mulai aman; tetapi ternyata Arkhelaus, anak Herodes, menjadi raja Yudea. Ia pun merasakan ketakutan lagi.
Dalam keadaan demikian, Yusup memberi tempat kepada kuasa ilahi untuk berperan. Melalui perjumpaan dengan malaikat dalam mimpi, ia mendengarkan dengan kesetiaan. Ia pun melakukan semua yang dikatakan oleh malaikat. Yusup mendengarkan; tidak bereaksi seperti kebanyakan kita. Tetapi ia menyerap semua perkataan malaikat lebih dahulu, dan baru kemudian mengambil keputusan. Tindakan ini ditunjukkan oleh Matius menjadi suatu kepekaan tersendiri pada Yusup, sehingga ia tidak lagi memerlukan perjumpaan dengan malaikat dalam mimpi, tetapi cukup dengan nasihat dalam mimpi. Dua hal yang bisa kita praktekkan dari sikap Yusup ini: 1) mendengarkan. Mari mendengarkan pasangan kita, anak-anak kita, pimpinan kita, orang-orang di sekitar kita, terutama kita mendengarkan Allah. 2) inilah yang harus kita lakukan kemudian: memberi peran kepada Allah untuk ikut mendampingin perjalan hidup berkeluarga kita; kalau ada masalah, kita memberi kesempatan kepada Allah untuk ikut menyelesaikannya.
Hal ini bisa kita lakukan kalau kita setia mewujudkan janji perkawinan kita: mencintai. Cinta itu adalah tindakan Allah dan bahkan Allah sendiri. Jadi ketika kita mencintai pasangan kita, anak-anak kita, pekerjaan kita, sesama kita; maka kita melakukan tindakan Allah. Maka Allah pun akan bertindak bersama kita.
Selamat merayakan Keluarga Kudus dan Mari memperbaharui janji perkawinan kita.
Saya…… (sebutkan nama suami/istri) mengambil engkau …….. (sebutkan nama istri/suami) sebagai istri/suami. Saya akan setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit. Saya akan mencintai dan menghormatimu seumur hidupku.