Sabtu Paska III-A
May 2, 2020
Kisah Para Rasul 9: 31-42; Yohanes 6: 60-69
Dalam percakapan dengan pastor-pastor ternyata hampir di setiap paroki ada umat yang suka “mengundurkan diri”; mereka akan pergi meninggakan paroki kalau tidak cocok dengan Pastor Parokinya. Kalau ada Pastor yang disenangi karena akomodatif, cocok dengan gambarannya; tetapi kalau ada pergantian Pastor Paroki dan dianggap tidak mengakomodir diri dan ide-idenya, mereka mulai “mengundurkan diri”.
Tetapi sikap “mengundurkan diri” ini tidak hanya berkaitan dengan pribadi, tetapi juga dengan hal-hal lain: ada ucapan kalimat tertentu -dari siapa saja_ dianggap sebagai menyindir dirinya; kalau ada rapat dan ada usulan atau keputusan yang tidak sesuai dengan pandangannya; kalau ada pelibatan orang yang tidak disukai. Maka itu berarti memang “mengundurkan diri” adalah “pola perilaku” yang dimiliki. Pola ini bila dibiarkan dan dikembangkan, maka akan menjadi tabiat. Dan bila sudah menjadi tabiat, maka ia bisa diterapkan pada apa saja yang tidak mengenakkan dirinya.
Itulah kiranya yang terjadi pada orang-orang jaman Yesus. Mereka mendengarkan kata-kata Yesus tidak masuk akal, jorok: masak orang disuruh makan daging dan minum darah manusia Yesus ?!!!! Maka mereka pun tidak tahan dengan kata-kata itu. Mereka menyatakan “Perkataan ini keras!” Maka mereka pun mengundurkan diri; tidak ada usaha untuk menanyakan, mengklarifikasi pengertian mereka; tidak ada usaha untuk memperbincangkan apa maksud Yesus, dsb. Mereka menggunakan pola yang ada dalam dirinya terhadap apa saja, termasuk kebenaran Sabda Tuhan.
Hal seperti ini juga bisa terjadi pada kita. Kita tahu bahwa Yesus mengajarkan “mengampuni 70x7x. Tetapi yang cocok di benak kita adalah cukup 3 x saja; maka meskipun Sabda Tuhan, pasti akan kita tolak; kalau kita dipaksa untuk benar-benar menjadi Kristiani -seperti Kristus-, kita lebih memilih “mengundurkan diri”. Permintaan ini keras! Apalagi kalau kita harus mendoakan dan memberkati orang yang memperkusi kita, mencelakai kita; dan mencintai mereka yang membunuh kita. Kita membiarkan pola ini terjadi dalam diri kita karena kita melupakan bahwa “Roh lah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna!” Kita seringkali hanya berkutat pada soa-soal daging, yang sama sekali tidak berguna.
Para Saudara, pertanyaan Yesus yang sama juga ditujukan kepada kita, “Apakah kamu tidak pergi juga?”
Petrus yang mewakili Para Murid kiranya dapat memberi inspirasi kepada kita untuk menjawab pertanyaan itu, “PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal”, yang berasal dari Roh sendiri. Maka, marilah kita belajar mengarahkan perhatian kepada Roh yang memberi hidup, dan berani mengesampingkan hal-hal ragawi, karena daging itu sama sekali tidak berguna, supaya kita tidak mudah untuk “mengundurkan diri” bila ada hal-hal yang keras, yang tidak sesuai dengan pandangan pribadi kita.