Sabtu dalam Oktaf Paska
April 18, 2020
Kisah Para Rasul 4: 13-21; Markus 16: 9-15
Ada yang menarik dalam perikop Injil hari ini. Yesus mencela ketidak-percayaan mereka dan kedegilan para murid, karena mereka ini tidak percaya akan kesaksian orang-orang yang telah melihat Yesus yang bangkit. Memang para murid ini sangat degil dan keras hati. Di khalayak ramai sudah mulai tersiar berita tentang kubur kosong dan orang-orang yang berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Namun mereka tidak mudah percaya. Nanti ada yang ingin mencucukkan tangan di luka tangan dan lambung Yesus. Aneh memang.
Namun lebih aneh lagi, mereka yang susah percaya ini, malah disuruh pergi ke seluruh dunia dan memberitakan Injil kepada segala makhluk. Apa maksud Yesus ini? Apa yang ada di benaknya? Yesus sungguh penuh dengan paradoks.
Coba lihat dalam bacaan I. Petrus dan Yohanes tidak begitu diperhitungkan oleh Imam-imam Kepala, Tua-tua Jemaat (yang biasa dikenal sebagai Sanhedrin). Mengapa? Karena mereka orang-orang biasa yang tidak terpelajar. Tetapi jawaban mereka, taktik mereka (menghadirkan orang yang mengalami mukjizat di kanan kirinya) membuat Sanhedrin ini tidak mampu membantahnya. Mereka dilarang keras untuk berbicara tentang nama Yesus dan melakukan aksi besar dalam nama Yesus; tetapi mereka mengajukan pertanyaan retoris tentang pilihan yang benar: Ikut dan taat kepada kehendak manusia? Atau ikut dan taat kepada kehendak Allah? Mereka diadili dengan gigih tetapi mereka dibiarkan pergi.
Hidup kita pun seringkali penuh dengan paradoks. Misalnya di masa pandemi ini saja: kita ingin melakukan banyak hal supaya eksistensi kita diakui; tetapi kita diharuskan tinggal di rumah. Kita ingin menjadi tenar, postingan kita ingin di”like” atau mendapatkan jempol dari banyak orang; tetapi kita tidak bisa mengenali orang karena harus ambil jarak dari mereka. Dalam paradoks seperti itu kita harus memilih sikap dasar kita, yang menunjukkan keberpihakan kita pada Allah dan kehendaknya.
Kita jadi ingat pengalaman Samuel mendatangi rumah Isai untuk mengurapi salah satu anaknya. Secara paradoksal, Allah ternyata memilih anak yang postur tubuhnya biasa-biasa saja. Mengapa Daud yang secara fisik biasa-biasa itu yang dipilih? Karena Allah melihat HATI…… Karena itu, mari kita menunjukkan SIKAP HATI kita dalam paradoks-paradoks hidup kita. Hati yang selalu memilih dan mendahulukan Allah dan kehendakNya.