Renungan Minggu Biasa XXX-A
October 25, 2020
Keluaran 22: 21-27; 1Tesaslonika 1: 5c-10; Matius 22: 34-40
Manusia diberi hati oleh Allah. Manusia juga dikaruniai kehendak bebas. Sehingga manusia juga memilihi kehendak bebas untuk menggunakan apa yang ada dalam dirinya, termasuk hatinya. Maka pertanyaan reflektif: Selama ini kita gunakan untuk apakah HATI kita?
Kita bisa menggunakan hati untuk mendengki, untuk membenci, dan segala rasa negatif. Kalau kita membiasakan menggunakan hati kita untuk hal ini, Bacaan Pertama mengingatkan kita sikap Allah. Ia akan berpihak pada mereka yang kita benci, yang terkena rasa negatif kita: “Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepadaKu dengan nyaring”. Dan bukan hanya itu, tetapi Ia akan bertindak, berbuat sesuatu untuk mereka: “Maka murkaKu akan bangkit”.
Memang sekalipun Allah tidak lagi menghukum, tetapi perasaan negatif yang kita kembangkan, akan membuat hidup kita seperti di neraka; menyulitkan kita mengalami kebahagiaan; bahkan ada yang mengalami psikosomatis. Penyakit yang disandang dalam waktu lama dan sudah diobatkan kemana saja; sembuh hanya karena rela mengampuni.
Yesus menunjukkan sikap hati yang benar: menggunakan hati untuk MENCINTAI. Kita terikat kewajiban untuk mencintai Allah yang telah lebih dahulu mencintai kita. Terhadap sesama pun kita juga terikat panggilan untuk mencintai mereka, bukan hanya sekedar untuk hidup harmoni dalam masyarakat; tetapi kita menyadari bahwa mereka pun adalah ciptaan Allah. Atas dasar pemikiran inilah Yesus pun menyatakan “apa saja yang kamu lakukan terhadap saudaraKu yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”.
Kita bisa mencintai Allah dan sesama secara benar, ketika kita mengetahui bagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Ketika kita tidak mampu menggunakan hati kita untuk mencintai diri kita, maka kita juga tidak akan mampu mencintai sesama, apalagi Allah. Maka rumusan yang diberikan Yesus, benar-benar bukan hanya mencintai realitas yang ada (Allah, sesama dan diri sendiri), tetapi juga integral.
Sejauh mana jawaban Yesus ini berdampak pada diri kita? Apakah benar-benar membuat kita bahagia? Apakah benar-benar membawa rahmat Allah?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita peroleh dari konteks perikop ini. Bagi orang Farisi, jawaban ini tidak mempunyai efek apa-apa, karena mereka ingin mengetahui jawaban Yesus hanya untuk mencoba-coba; untuk formalitas belaka. Tetapi jawaban Yesus ini akan berdampak kalau kita menerimanya dengan tulus, karena kita memang ingin mengetahui dari Yesus perintah yang utama juga secara tulus.
Mari dengan tulus kita mencintai Allah, sesama dan diri kita sendiri. Amin.