Pekan Suci
April 3, 2023
PEKAN SUCI
Setelah 40 hari berpuasa, kita memasuki Pekan Suci. Pekan ini disebut “suci” karena meskipun di dalamnya ada kekejaman, kekejian, ketidakadilan dan kekerasan, tetapi misteri yang dirayakan sangat khas, sangat khusus: Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia, memberikan hidupNya -dan bukan meminta hidup- dengan mati di kayu salib, justru supaya manusia hidup. Perayaan ini bukan suatu kisah drama atau film, tetapi suatu cerita penebusan umat manusia.
Cerita tentang (penebusan oleh) Yesus sangat menarik karena melibatkan intrik-intrik dunia keagamaan, sosial, politik bahkan kemasyarakatan. Dengan demikian cerita tentang Paska sebenarnya juga masih sangat relevan dengan kehidupan manusia saat ini yang -seperti sering diungkapkan dalam “pengantar” oleh J. Kristiadi- selalu berada dalam ikatan Ipoleksosbudhankam (Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan). Kehidupan “sumur-dapur-dan bahkan-kasur” diurusi oleh Ipoleksosbudhankam itu.
Uraian ini tidak bicara soal konteks Ipoleksosbudhankam-nya itu tetapi tulisan ini lebih bersifat renungan teologis. Maka pertanyaannya relevansi apa yang bisa menginspirasi hidup kita?
MINGGU PALMA
Pekan Suci ini dibuka dengan perayaan yang dipadankan dengan peristiwa ketika Yesus memasuki Yerusalem. Yerusalem adalah kota yang dituju oleh Yesus sebagai puncak perjalanan penebusanNya. Lukas menuliskan nama Yerusalem dengan dua cara penulisan: hierosolima dan hierosaleem. Yang pertama menggambarkan kota dengan semua penghuni yang dipenuhi dengan “syalom”, berkat, rahmat, karena mereka mampu mengenali Kristus sebagai Allah dan percaya kepadaNya. Sementara yang kedua menyiratkan kota dan seluruh warganya yang penuh dengan kezaliman, karena mereka tidak mau tahu tentang Kristus dan sebagai akibatnya mereka tidak mau mengakuiNya sebagai Allah. Maka dari itu, mereka pun berada dalam hukumannya: tidak bisa menikmati keselamatan dan kekuasaan penyelamatan. Penginjil lain, Matius dan Markus, melihat Yerusalem sebagai momentum Yesus melaksanakan tugas penebusan dosa manusia; Yesus mengalami Paska: penderitaan, kematian dan kebangkitan.
Ketika Yesus memasuki Yerusalem ini, orang memperlakukanNya sebagai “raja”. “Hosanna Putera Daud”, begitu mereka mengelu-elukan Dia. Sorak-sorai ini mengalir dari kekaguman masyarakat akan kuasa yang dimiliki oleh Yesus. Pengajaran-pengajaranNya dipahami sebagai “ajaran baru”, bukan hanya materi-nya tetapi juga pengajaran yang penuh kuasa. Ia bukan hanya berbicara, menyampaikan materi, tetapi seluruh hidup Yesus kiranya juga merupakan pengajaran hidup. KemampuanNya untuk menyembuhkan orang sakit, bahkan yang buta sejak lahir, dan bahkan membangkitkan orang yang sudah 4 hari mati, dikenali oleh orang-orang sebagai kuasa yang hanya dimiliki oleh Allah. Ia sendiri sering menunjukkan otoritas sebagai Allah, “Dosamu sudah diampuni!”. Ketika orang melambai-lambaikan daun palma, wajah mereka menampakkan penerimaan mereka atas seorang raja yang akan menjadi pemimpin mereka. Dia inilah yang akan mengembalikan kejayaan dan kekuasaan Daud, bapa leluhurNya. Pengakuan ini diungkapkan dengan Yesus memilih keledai muda, yang belum pernah ditunggangi. Keledai bukan binatang kendaraan manusia, tetapi binatang pengangkut barang. Ia mudah dikendalikan dengan dituntun dan sulit untuk ditunggangi, apalagi bila belum pernah dilatih dan dibiasakan. Para penginjil memperlambangkan kemampuan ini ada pada Yesus.
Tetapi benarkah penebusan ini dilaksanakan dengan memunculkan seorang raja baru di tanah jajahan Roma? Tidakkah ini akan menimbulkan pertumpahan darah? Orang-orang yang menjadi “antek” raja Romawi, Herodes, telah dipasang dan ditempatkan dimana-mana, sehingga mereka selalu “update” dengan apa yang terjadi di Yerusalem. Kita ingat ada orang-orang Herodian yang mendengar sikap Yesus tentang membayar pajak, yang berkaitan dengan loyalitas kepada Kaisar Roma.
Yesus menyadari bahwa kekerasan yang dilawan dengan kekerasan, akan melahirkan kekerasan baru, begitu seterusnya. Maka Ia pun pernah mengajar bahwa pemerintah dunia melaksanakan pemerintahannya dengan tangan besi. Ia meminta murid-muridNya untuk merendahkan diri, dan melayani bila mau menjadi yang utama dan pemimpin. Inilah yang terjadi pada Yesus: meskipun Ia mampu mengendalikan keledai, tetapi Ia cukup naik seekor keledai, binatang pengangkut barang. Orang-orang pun menghamparkan pakaian dan daun-daunan di sepanjang jalan yang dilewati, supaya keledai dan Yesus sendiri tidak menginjak-(injak) tanah, humus; simbol, lambang kerapuhan, kelemahan dan ketidakberhargaan manusia. Yesus tidak mau menjadi penjajah dan penindas manusia lemah. Karena itu, kekuasaan yang dibawa dan dipraktekkannya adalah kekuasaan yang penuh kelemahlembutan. Kekuasaan raja yang mau mengerti kelemahan, kerapuan dan ketidakberhargaan manusia. “Buluh yang terkulai tidak dipatahkan; sumbu yang redup tidak dipadamkan”, begitu kata Yesaya.
Apa yang bisa kita petik?
Ada dua maksud dari peristiwa ini. Pertama, Yesus mau mengingatkan para murid agar kalau mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Yesus, jangan sampai mereka kehilangan iman. Kalau mereka menyaksikan “kekalahan” -istilah manusiawi sekali- yang dialami oleh Yesus dengan kematianNya, jangan mereka kehilangan pengharapan. Sebagai orang beriman, kita tentu sering mengalami doa-doa kita yang tidak dikabulkan; Tuhan membiarkan sesuatu yang jelek menimpa diri dan keluarga kita. Pokoknya kita mengalami bahwa Allah tidak memiliki daya kekuatan apa pun yang bisa membantu kita. Nah pesan seperti ini berlaku bagi kita yang mengalami semua itu. Itulah sebabnya pula, pada Minggu Palma ini kita diajak untuk mendengarkan Kisah Sengsara Yesus. Supaya dihadapan kematian Yesus di salib, kita masih bisa menemukan celah yang dialami oleh prajurit Romawi, “Sungguh Dia ini Anak Allah”.
Kedua, sejak semula Yesus itu mampu mengerjakan tugas penebusan ini sendirian. Tetapi Ia tidak mau melakukan itu. Ia mengumpulkan 12 orang, yang dijadikan murid-muridNya dan kemudian disebut rasul-rasulNya. Ia ingin melibatkan sebanyak mungkin orang untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan, penebusan ini. Maka Ia sedih ketika menjumpai murid-murid yang tertidur pada saat Ia mengalami pergulatan di taman Getsemani, “Tidakkah kamu mampu berjaga, satu jam saja?!”.
Kalau saat ini kita menjadi “Kristen”, berkat pembaptisan kita, maka kita membawa nama “Kristus”, yang berarti juga membawa perutusanNya: menyelamatkan, menebus sesama manusia. Itu berarti kita pun diikutsertakan dalam menyelamatkan manusia. Kita mampu untuk melaksanakannya, ketika kita ikut menghayati apa yang dihayatiNya: menggunakan kekuasaan yang lemah lembut, kekuasaan yang bisa menerima, memaklumi kelemahan, kerapuhan manusia. Bapa Paus mengingatkan kita bahwa kita adalah “vultus misericordia”, kita adalah wajah Allah yang berbelaskasihan.
Selamat memasuki masa Pekan Suci 2023.