Minggu Prapaska IV-A “LAETARE”

March 25, 2020

1Samuel 16: 1b.6-7.10-13a; Efesus 5: 8-14; Yohanes 9: 1-41

Alam mengajarkan hukum pertumbuhan. Satu biji memunculkan tunas, memunculkan daun; tunas dan daun menumbuhkan batang, batang menumbuhkan dahan, dahan menumbuhkan daun dan bunga, lalu buah. Binatang melahirkan anak; anak bertumbuh dari kecil, rapuh, bisa berjalan, berlari dan bertumbuh makin besar.

Kita juga mengalami pertumbuhan itu. Kita dilahirkan sebagai bayi yang mungkin beratnya hanya 2,6 kg, dengan tinggi badan 45 cm. Tetapi makin hari, minggu, bulan dan tahun, kita bertumbuh terus sampai pada kesempurnaan. Apakah iman kita -yang dalam arti tertentu berada dalam kealamiahan-  juga bertumbuh? Bacaan-bacaan hari ini mengajar dan membawa kita pada kesadaran akan pertumbuhan itu.

Samuel diutus Allah untuk merekrut salah satu anak Isai sebagai orang yang dipersiapkan untuk menggantikan Raja Saul yang telah ditolak oleh Allah. Pada awalnya ia mengagumi anak Isai yang berperawakan tinggi, gagak, parlente. Tetapi ternyata Tuhan tidak menghendaki. Demikian juga dengan enam anak yang lain, semuanya tidak dikehendaki Allah. Mungkin Samuel, seperti hal nya kita,  mengalami kejengkelan yang besar ketika pilihan demi pilihannya ditolak oleh Allah. Kita mungkin akan mengalami keputusasaan bila pilihan-pilihan kita ditolak, bahkan sampai 7 x. Penolakan ini bukan saja pada penolakan atas orang yang kita pilih, tetapi juga penolakan atas pertimbangan, kriteria yang dibuat oleh akal budi kita, sepertinya pertimbangan kita itu mentah; sepertinya kita itu tidak memiliki kompetensi menilai orang, dsb. Ketika Tuhan memberitahu alasan penolakannya, kita memang harus menjadi rendah hati, bersedia untuk mengoreksi cara pikir kita: “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” Kita sering memberi pertimbangan dengan dasar apa yang nampak, apa yang kelihatan”. Inilah sebabnya kita sering diombang-ambingkan oleh dunia bisnis. Segala barang, -bahkan sekarang juga sudah merasuki manusia juga- mereka ditampilkan menarik, mempesona mata kita; tetapi sebenarnya tidak ada isinya.

Kita harus berani mengubah, berpindah dari pemikiran yang sekarang menujuk kepada pola pikir yang dimiliki oleh Allah: melihat hati. Inilah yang terjadi pada orang buta sejak lahir. Meskipun buta, ia tahu apa yang dilakukan Yesus: “Orang yang disebut Kristus itu MENGADUK TANAH, mengoleskannya pada mataka”. Dalam pertentangan diantara orang-orang Farisi, yang hanya mempersoalkan hari Sabath, kesalahan yang dibuat Yesus atas orang buta itu, yang intinya mereka tidak mampu mengenali Yesus, orang buta ini mampu mengenali bahwa “Ia seorang nabi!”. Kiranya ia tidak hanya mengenali Kristus sebagai nabi, tetapi pada akhirnya ia percaya bahwa Kristus adalah Tuhan: “Aku percaya, Tuhan” Lalu ia sujud menyembah Yesus. Sujud adalah tindakan manusia untuk mengungkapkan imannya akan Allah.

Kita yang memiliki kemampuan melihat seringkali melihat secara salah, akibatnya kita bisa disesatkan, bisa dikecewakan, bisa dibutakan. Kita bisa menjadi seperti orang buta, bila kita melihat segala sesuatu dengan hati. Karena lewat hati itulah kita menyatukan cara penglihatan kita dengan cara penglihatan Allah. Memang inilah yang ideal, tetapi bukankah kita berada dalam hukum pertumbuhan alamiah? Saatnya kita menyadari bahwa kita harus menumbuhkan iman kita akan Pribadi Kristus, supaya pada akhirnya kita dapat mengakui seperti orang buta itu, aku percaya, Tuhan; dan kita berani sujud di hadapanNya.

Mari mengubah cara pandang kita, cara mempertimbangkan kita; mari kita sesuaikan cara pandang dan mempertimbangkan kita dengan cara pandang dan mempertimbangkan yang dimiliki Allah, melihat hati dengan mata hati.