Minggu Prapaska III-A

March 23, 2020

Keluaran 17: 3-7; Roma 5: 1-2.5-8; Injil Yohanes 4: 5-42

Kita pernah mendengar dalam kehidupan sosial keagamaan kita hal-hal berikut ini. Seorang istri ditinggal suami entah kemana; ada desas-desus kalau suami sudah tinggal bersama wanita lain. Pada waktu ibu ini menerima komuni, ada orang yang menegur bahwa dia tidak boleh menerima komuni karena hidup perkawinannya seperti itu. Ada satu keluarga yang tidak atau belum sempat untuk mengurus perkawinan kristianinya; teman-teman selingkungannya melarang dia membaptiskan anaknya.

Atau hal-hal yang sering dialami oleh keluarga. Misalnya, anak-anak remaja sekarang lebih ekspresionis, termasuk soal hidup keagamaan. Beberapa anak menyatakan ragu-ragu tentang keberadaan Allah, malah ada yang terang-terangan mengatakan tidak percaya kepada Allah. Bagaimana orangtua menyikapinya? meyakinkan mereka? Atau keluarga yang ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Ia sudah berdoa kepada Allah tetapi tetap saja kemalangan tidak pernah lepas dari keluarga ini.

Dalam peristiwa-peristiwa biasa kehidupan seperti itu, orang menggandeng-gandengkan dengan Allah, dengan imannya. Ada yang mendapat peneguhan, tetapi tidak jarang orang kehilangan kepercayaannya. Inilah yang terjadi pada bacaan I dan Injil. Orang-orang Israel dan orang-orang Samaria, termasuk wanita Samaria mengalami hal-hal sehari-hari. Mereka memerlukan air seperti kita menjadikan air sebagai kebutuhan kita sehari-hari. Keperluan sehari-hari ini sering membuat mereka menghubungkannya dengan Allah. Israel dalam Bacaan I mempertanyakan “Adakah Tuhan di tengah-tengah kita?”. Inilah yang membuat mereka ditandai dengan penamaan tempat kejadian peristiwa itu “Masa dan Meriba”.

Perempuan Samaria juga mengalami keperluan sehari-hari, air. Tidak hanya kehidupan umumnya yang dijadikan bahan pembicaraan dengan Yesus, tetapi juga kehidupan pribadinya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami, dan yang sekarang ada padamu pun bukanlah suamimu”. Mengherankan sekali bahwa ia tidak tersinggung dan menjauhi atau memusuhi Yesus, tetapi justru ia mengenaliNya sebagai nabi. Maka ia pun memanggil orang-orang kota, yang akhirnya datang dan mempersilahkan Yesus tinggal bersama mereka. Setelah tinggal itulah, orang-orang ini memberi pernyataan yang indah: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu bahwa Dia benar-benar Juru Selamat dunia”.

Kita pun menghadapi masalah-masalah pribadi, ada yang umum dan tidak jarang yang bersifat pribadi; kehidupan pribadi kita diusik orang, dsb. Pada kesempatan seperti ini, bagaimanakah kita menghubungkan dengan iman? Apakah hal ini melemahkan iman kita? Atau justru semakin menguatkan iman kita?

Untuk itu kita belajar dari orang-orang Samaria. Mereka beranjak dari ketidak percayaan, bahkan orang Israel menjuluki mereka “kafir”, menuju kepada iman yang sungguh-sungguh sangat personal dan mandiri. Kata kuncinya ialah: mempersilahkan Yesus TINGGAL dalam diri kita, mengalami pribadi perjumpaan dengan Kristus itu. Hanya dengan itu, hidup keseharian kita akan menjadi sarana memurnikan dan memperdalam iman kita; hal itu terjadi ketika kita mengundang Yesus untuk tinggal di hati kita supaya kita mengalami perjumpaan dan relasi pribadi denganNya.