Minggu Pekan Biasa VI

February 19, 2020

Sir 15:15-20
Mazmur : Mzm 119:1-2.4-5.17-18.33-34
Bacaan 2 : 1Kor 2:6-10
Injil : Mat 5:17-37

Apa jawaban kita ketika orang bertanya: “Bagaimana menjadi orang beragama/beriman yang baik itu?” Kita sering mendapat jawaban:”Melakukan/Menuruti Perintah Allah dan Menjauhi Larangan-laranganNya”. Penghayatan seperti inilah yang seringkali mendorong orang untuk mempersoalkan “boleh atau tidak boleh”, “mana yang benar” dalam hidup beragama. Misalnya, bolehkah makan sebelum misa? Mana yang benar dalam membuat tanda salib? Tangan di pusar? atau di dada? Bahkan ada yang membuat aturan tidak memperbolehkan pernikahan diselenggarakan di masa Prapaska.

Orang seperti ini melakukan yang baik dan benar karena diperintahkan (Allah) dan tidak berani melakukan kejahatan, kesalahan, dosa karena dilarang (tentu lalu dihukum). Mereka menjadi obyek dari (pelaksanaan) hukum. Tindakan dan perkataan mereka dituntun dan dikendalikan oleh hukum/aturan. Inilah yang terjadi pada masyarakat Perjanjian Lama sampai dengan Jaman Yesus. Mereka memiliki 613 hukum (berapa yang mampu dihapal oleh orang-orang Yahudi?); dari jumlah itu 365 berupa larangan (jangan begini, jangan begitu, dsb.), dan 248 bersifat keharusan untuk begini dan begitu. Sikap inilah yang membuat orang-orang Yahudi tidak mampu mengenal Yesus sebagai Mesias, karena mereka lebih memperhatikan tingkah Yesus terhadap hukum; mereka ingin menemukan kalau-kalau Yesus melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum. Mereka ingin menemukan bukti bahwa Yesus tidak memiliki dimensi keilahian, karena tidak mentaati hukum keagamaan.

Kitab Putra Sirakh mengingatkan bahwa “Kita adalah TUAN atas diri kita”, “Asal sungguh mau, engkau dapat menepati hukum, dan berlaku setia pun dapat kaupilih. Api dan air telah ditaruh Tuhan di hadapanmu”; mau kamu apakah terserah pada manusia. Yesus memiliki sikap ini, maka Ia pun menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan, menolak Hukum Taurat; Ia malah datang untuk menggenapinya. Bagaimana penggenapan yang dilakukan Yesus?

Dalam setiap hukum itu selalu ada “jiwa, roh” yang dibungkus dengan kata-kata, kalimat hukum. Larangan “Jangan Membunuh” misalnya, seperti dicontohkan oleh Yesus pula, mengandung jiwa dan roh bukan hanya menghilangkan nyawa, tetapi tindakan merendahkan martabat manusia dengan “marah”, merudung dengan label “kafir”, harus membuat orang itu diserahkan kepada Mahkamah Agama dan mendapatkan hukuman. Inilah radikalisasi Yesus dalam pelaksanaan hukum Taurat. Yesus menghayati jiwa dan roh dari hukum itu. Mengapa ini dilakukan?

Hukum dibuat untuk tujuan sesuatu. Hukum sipil dibuat untuk mengatur, menata masyarakat agar bisa hidup harmonis untuk mencapai kesejahteraan bersama. Hukum Taurat dibuat untuk mengarahkan manusia pada pengertian dan pengenalan akan Dia yang membuat dan menjamin kehidupan mereka; bagaimana mereka bisa beribadat dan berperilaku benar-benar sebagai umat Allah: “AKu Allah mereka dan mereka UmatKu”. Itu yang sering dikatakan Allah. Yesus mengajak kita untuk memasuki roh dan jiwa dari hukum Taurat supaya kita mampu untuk sampai kepada Allah.