Minggu Paska IV-A (Minggu Panggilan)
May 3, 2020
Kisah Para Rasul 2: 14a. 36-41; 1Petrus 2: 20b-25; Yohanes 10: 1-10
Ketika Gereja menentukan Minggu Paska IV sebagai Minggu Panggilan, kita diajak untuk merenungkan tentang Panggilan. Apakah yang hakiki dalam pembicaraan tentang Panggilan? Saya baru saja berkomunikasi dengan seorang Suster SSpS, yang baru pulang dari Ghana, Afrika. Dia dulu adalah ketua Keluarga Mahasiswa Katolik Universitas Airlangga. Dia bercerita tentang satu kota di Ghana, Namanya Waiga, dimana ia bermisi. Seperti kebanyakan daratan Afrika, daerah itu hanya savanna… satu pohon besar itu berjarak berpuluh-puluh meter. Seperti di Kalimantan, di Ghana setiap daerah dihuni oleh suku yang berbeda dengan bahasa yang berbeda. Ia tidak sempat mempelajari setiap bahasa. Ia pergi ke stasi-stasi untuk menghidupkan komunitas gerejani di situ, memberikan renungan, menguatkkan mereka. Dan tentu karya sosial bagi umat yang ekonominya sangat rendah. Supaya ia berkomunikasi dengan penduduk, maka ia mengajak dan melibatkan anak-anak muda untuk menjadi penterjemahnya. Pelan-pelan anak-anak muda ini pun menjadi bagian dari komunitas yang ikut memikirkan dan memberikan diri untuk komunitasnya. Ia benar-benar mendapatkan peneguhan bahwa hidupnya bermakna bagi orang lain. Di hari-hari biasa ia bekerja di rumah sakit. Ia bertemu dan menyentuh anak-anak yang kurus, tetapi dengan keramahannya, ia membuat pasien bisa tersenyum.
Saya pun bertanya dengan Pertanyaan yang selalu menantang “Apakah kamu bahagia selama di sana?” Dengan terbahak-bahak -mengejek saya- dia menjawab “Bukankah Romo yang mengajarkan bahwa ‘hidup itu harus bermakna; hidup itu jangan biasa-biasa saja; jangan suam-suam kuku’! Hidup harus berarti bagi orang lain”. Dan kata-kata itulah yang ternyata mendorong dia untuk menjadi Suster.
“Menjadikan hidup kita bermakna, berarti, memiliki nilai” itulah yang hakiki dalam panggilan hidup kita. Dalam Bahasa Kitab Suci, hidup kita harus menjadi âgaramâ yang adalah representasi dari kualitas; dan âterangâ yang merupakan pengejawantahan kegunaan bagi orang lain. Menjalani panggilan sebagai apa saja, kita harus menunjukkan kualitas dan kegunaan kita bagi sesama. Kita bisa menjadi apa saja: polisi, guru, dokter, perawat, pedagang, imam, biarawan-biarawati. Tetapi apakah dalam profesi-profesi itu hidup kita bermakna? APakah hidup kita berarti? Apakah kita bermutu? Apakah profesi itu kita jalankan untuk kepentingan banyak orang?
Saya ingin menawarkan hidup yang bermakna terutama bagi orang muda, terutama yang belum tahu hidupnya mau kemana. Kesukupan Agung Pontianak itu meliputi Kota Madya Pontianak, Kabupaten Kota Singkawang dan 5 kabupaten; dengan jumlah umat berkisar 400.000 umat yang tersebar di 30 Paroki. Dari antara paroki-paroki itu: beberapa paroki saja yang memiliki lingkungan atau stasi di bawah 30; tetapi kebanyakan lingkungan dan stasi mereka berada di atas 50 tempat. Paroki Ngabang mempunyai 109 Stasi; Paroki Bengkayang memiliki 121 stasi dan dilayani hanya oleh 2 orang imam; Paroki Pahauman memiliki 169 stasi dan dilayani oleh 2 orang imam. Cukup kah tenaga-tenaga itu melayani sekian luas dan sekian banyak umat. Seperti kata St. Vinsensius, pendiri kami, imam-imam CM: “Mereka ini memanggil-manggil nama-nama Anda untuk datang sebagai imam-imam mereka”.
Para Orang Muda, itu lah salah satu peluang bagi kita untuk menjadikan hidup kita bermakna, hidup kita berarti. Jawablah lambaian tangan mereka yang memanggil-manggil Anda dengan “Ini aku; Utuslah aku!”. Amin.