Minggu Paska III-A

April 26, 2020

Kis 2:14.22-33
Mazmur : Mzm 16:1-2a.5.7-8.9-10.11
Bacaan 2 : 1Ptr 1:17-21
Injil : Luk 24:13-35

Berbicara adalah hakekat manusia. Manusia berbicara dengan mulutnya (lisan), tetapi ia juga berbicara dengan simbol (tulisan, gambar, lukisan). Manusia juga berbicara tentang peristiwa dan apa saja. Ia bisa bicara tentang apa yang terjadi pada orang lain tetapi ia juga bisa berbicara dirinya sendiri. Ia bisa bercerita tentang peristiwa apa adanya, tetapi ia bisa berbicara hal yang menyedihkan, menghibur, menimbulkan kemarahan atau pun simpati, yang sudah direfleksikan dan dinilainya.
Ia bisa sekedar membicarakan apa yg dibicarakan orang lain (bdk maraknya orang memfoward tulisan orang lain, bahkan sering tanpa dibaca lebih dulu, apalagi dimengerti dan direnungkan isinya), atau membahas apa yang menjadi ide, pemikiran dan pergulatannya. Seseorang berbicara juga dipengaruhi oleh sudah pandang yang sudah menjadi jiwanya. Seorang sejarawan, akan membicarakan tentang urutan dan rentetan peristiwa; tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya; ia menyebutkan tempat dan waktunya dengan jelas. Seorang jurnalis berbicara tentang fakta dari sudut pandang visi jurnalismenya, sehingga suatu fakta tidak hanya tersajikan apa adanya tetapi dapat ditarik ke fakta-fakta lain baik yang terjadi saat ini maupun di masa lampau. Fakta-fakta itu lalu memiliki nilai pembelajaran tersendiri.

Namun pembicaraan menjadi berarti, bernilai, ditentukan oleh maksud dan tujuan pembicaraan itu. Ada politisi yang membuat “pembicaraan” dengan menggunakan unsur yang lengkap: suaranya, diperjelas dengan simbol huruf yang menjadi teks dari lisan dia; dia pun menyertai dengan grafis-grafis yang mendukung suaranya. “Pembicaraan” ini powerful, tetapi dimaksudkan untuk apa? Ketika mengajak untuk mencurigai, menimbulkan kemarahan, kebencian, antipati; maka sebagus apa pun penyajiannya, maka menjadi buruk. Dalam bahasa rohani, hal ini bisa membantu kita untuk menimbang, menilai secara kritis: ini berasal dari mana? Tuhan atau Setan?

Bacaan-bacaan hari ini berkaitan dengan “berbicara”, yang ternyata adalah tugas perutusan yang diberikan oleh Yesus kepada para muridNya. Bdk. Renungan Sabtu Paska II-A. Yesus berkata kepada para murid, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” Beritakanlah Injil sama artinya dengan “Berbicaralah” tentang Injil. Petrus dalam Bacaan Pertama dengan suara nyaring “berbicara” kepada orang banyak, meminta mereka mencamkan apa “yang sedang dibicarakan”, yaitu tentang Yesus, yang mereka salibkan. Bagaimana Allah bertindak membangkitkan Dia dan melepaskan Dia dari sengsara maut. Untuk menguatkan pembicaraannya ini, Petrus menyebut bahwa di masa lalu Daud pun sudah “berbicara” tentang Dia ini. Lalu ia menguraikan tentang apa yang “dibicarakan” Daud tentang Yesus ini.

Dalam Bacaan Injil pun ada dua orang yang “saling berbicara”. Pembicaraan mereka mengarah kepada kekecewaan, keputusasaan, kehilangan kegairahan dan keberanian. Satu berbicara tentang fakta yang terjadi dan bagaimana pengaruhnya terhadap dirinya; ditimpali oleh yang lain dengan nada yang sama. Mereka kaget ketika tokoh yang tiba-tiba bergabung menanyakan apa yang sedang mereka “perbincangkan”. Kekagetan mereka pun membawa mereka kepada suatu sikap yang “merendahkan” orang yang baru bergabung itu “Adakah engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem?!!!” Kok begitu kuper banget sich, disertai dengan muka yang muram.

Yesus pun akhirnya juga “berbicara” kepada mereka. Ia memulai dengan teguran yang disampaikannya secara retoris. Tetapi akhirnya dinyatakan oleh Lukas dengan jelas bahwa Ia “menjelaskan”, Ia “berbicara” tentang apa yang tertulis dalam Kitab-kitab mulai dari Musa sampai nabi-nabi. Apa yang dibicarakan Yesus adalah hal-hal yang memberi semangat, yang menguatkan, yang menimbulkan gairah, sehingga mereka pun berkomentar “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketia Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”. Pembicaraannya menumbuhkan lagi keberanian, sehingga yang tadinya mereka memproyeksi ketakutannya pada usahanya menahan agar Yesus tinggal bersama mereka, sekarang mereka “bangun dan langsung kembali ke Yerusalem”. Atas pembicaraan Yesus mereka mengalami perubahan dari “desolation“, perasaan negatif yang bertumpuk-tumpuk, menuju kepada “consolation“, perasaan positif yang berkelimpahan.

Pembicaraan Yesus membuat kedua orang yang ke Emaus memperoleh kembali semangat kegembiraan dan kebahagiaan mereka dan akhirnya mereka “mengenali Yesus pada waktu Ia memecah-mecahkan roti.”

Kita memiliki kecenderungan “berbicra” baik lisan maupun dengan bahasa simbol. Kita bisa berbicara tentang ide, pemikiran kita, tetapi secara pasif kita juga ingin “berbicara” tentang ide orang lain lewat meruskan wa, uraian, artikel, meme, kutipan, video atau apa saja. Mari kita berefleksi: sudahkah semua itu kita maksudkan untuk membawa kebahagiaan orang? Ataukah kita maksudkan untuk menunjukkan keburukan, yang bisa membuat orang marah, kecewa, dsb. Mari kita ingat: apa yang menimbulkan “desolation“, orang marah, kecewa, berang, putus asa, dsb. pasti bukan berasal dari Allah. Tetapi kalau kita mengusahakan hal yang baik, yang menimbulkan kegembiraan, penghiburan dan pengharapan, maka percayalah bahwa ini adalah kabar baik, yang dikehendaki Allah.