Minggu Paska II-A
April 23, 2020
Kisah Para Rasul: 2: 42-47; 1Petrus 1: 3-9; Yohanes 20: 19-31
Kami adalah Imam-imam CM atau disebut Vinsensian, karena kami didirikan oleh Vinsensius. Apa yang bisa menunjukkan bahwa kami adalah Vinsensian? Kalau kami punya topeng, maka kami bisa mengenakannya di wajah kami, sehingga orang yang melihat bisa berasosiasi bahwa kami adalah pengikut Vinsensius? Kalau tidak ada topeng?
Kami harus menampilkannya lewat option kami. Pelayanan kami harus berorientasi pada orang yang membutuhkan, mereka yang tersingkir, terpinggirkan. Vinsensius sangat luwes ketika mendekati dan berjumpa dengan orang sederhana; ia lemah lembut ketika berbicara dengan mereka. Maka kami juga perlu melakukan hal yang sama. Visensius bergaul juga dengan orang kaya, yang memiliki harta kekayaan. Tetapi ia mengajak mereka untuk mengarahkan perhatian kepada Allah dengan membagikan kekayaan mereka kepada orang yang miskin, terpinggirkan, menderita, dsb. Kami perlu melakukan apa yang ia lakukan, supaya penampilan kami benar-benar membuat orang mengenali bahwa kami adalah anak-anak Vinsensius.
Hari ini, pada Minggu, kita diajak untuk melihat wajah Gereja Perdana. Kita diajak untuk merenungkan apa yang menyebabkan Gereja Perdana begitu antusias terlibat dalam karya keselamatan Allah. Bagaimana mereka bisa begitu aktif menjadi bagian dari Kristus yang tersalib dan dibangkitkan?
Kita lihat bacaan I. Kita mungkin merasa diteguhkan oleh praktek Gereja Perdana seperti diceritakan dalam Bacaan Pertama. Misalnya: Mereka selalu berkumpul. Kita ini khan senang berkumpul. Keadaan yang kita alami sekarang ini membuat orang berkomentar, “Tidak enak misa dengan layar tv atau hp”; beberapa umat cemas kalau-kalau yang datang ke gereja makin banyak. Kita susah untuk disuruh “stay ata home”, karena kita selalu ingin bertemu.
Contoh lain: Memecah-mecahkan roti. Lihat ini menjadi kerinduan banyak umat. Mereka bertanya-tanya kapan keadaan ini segera berakhir, supaya kami bisa menerima komuni kudus. Beberapa bertanya dan minta ijin bolehkah menghadiri misa di gereja? Untuk apa? supaya bisa menerima Tubuh Kristus, supaya menerima roti yang dipecah-pecah.
Kita juga masih bisa menyebut soal berbagi kasih. Jemaat Perdana bahkan rela menjual harta milik mereka untuk dibagi-bagikan. Tidak ada kepunyaan pribadi, yang ada adalah kepunyaan bersama, sehingga tidak ada diantara mereka yang berkekurangan. Ini menjadi kekhasan kita. Lihat saat ini, kita bisa membagikan 200 paket kepada mereka yang berkekurangan. Pengumpulan bahan terjadi dalam waktu yang singkat. Mengapa bisa terjadi? Karena tidak perlu diragukan lagi, banyak orang rela berbagi.
Tetapi ciri-ciri luar Gereja Perdana ini yang ada pada kita saat ini, apakah sama berasal dari dinamika iman seperti Jemaat pada jaman itu? Jangan-jangan dorongan semua itu berasal dari luar saja. Kita mau berjumpa dengan orang hanya karena merasa nyaman, senang bisa bertemu dengan orang, bisa menunjukkan baju baru kita; bisa menunjukkan penampilan kita, dst. Kita merasa asing mendoakan komuni rindu, jangan-jangan karena sudah otomatis dalam benak kita bahwa misa harus menerima Tubuh Kristus. Demikian juga kita mau berbagi, karena takut dijarah, dsb. Pertanyaannya sudahkah kita memiliki sikap iman yang sama dengan Gereja Perdana? Iman yang seperti apa?
Yohanes mempublikasikan pengalaman Tomas sebagai catatan terakhir tentang kepercayaan. “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesus lah Mesias, Anak Allah, dan supaya imanmu kamu memperoleh hidup dalam namaNya”. Iman bukanlah soal melihat, membuktikan, tetapi soal sikap bathin untuk percaya “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”. Cerita ini tentu saja dibuat karena sejak dahulu ada orang yang memiliki sikap seperti Tomas. Kita pun mungkin masih seperti mereka. Hal ini nampak dari beberapa kecenderungan, misalnya:
- Kita ingin mengalami seperti yang dialami Maria Magdalena: mengalami tubuh yang sama dari Yesus tetapi karena kebangkitan, ia tidak mampu mengenaliNya. Kita ingin mengalami perjumpaan dengan Yesus. Lihat gambar awan dengan bentuk manusia, kita klaim itu figur Yesus, dsb.
- Atau kita ingin mengalami bergidik seperti Petrus dan Yohanes, yang mendapati kubur kosong dan melihat kain kafan sudah terlipat rapi. Kita ingin melihat yang aneh-aneh: lihat cahaya yang berkedip-kedip di monitor, kita menyimpulkan itu hantu;
- Atau kita ingin mengalami seperti Tomas. Kita ingin mengalami kehebatan Tuhan dalam diri kita, seperti kita lihat di TV: orang tidak takut pada virus corona, karena Allah lebih hebat dari corona, lalu ditunjukkan dengan memeluk jemaatnya. Atau kita pakai kata-kata Yesus untuk menghardik corona “Diamlah! Pergilah!”
Benarkah melihat dan mengalami itu sangat esensial dalam IMAN? St. Petrus dalam Bacaan II menyatakan bahwa Iman itu berperanan untuk menghadapi ketegangan antara saat sekarang ini dengan keselamatan yang akan dinyatakan pada akhir jaman. Ia akan menghidupkan pengharapan dan SIKAP yang benar. Maka bila ada banyak cobaan yang membuat kita berduka cita, itu normal. Itu merupakan proses pemurnian SIKAP.
Jadi SIKAP, disposisi diri itulah yang penting dalam hidup beriman. Melihat dan mengalami memang penting, tetapi kita perlu menelusuri SIKAP, DISPOSISI dari pengalaman dan penglihatan. Hal ini nampak misalnya pada cerita tentang orang yang buta sejak lahir, yang telah dijadikan bacaan ada hari Minggu Prapaska IV. Orang ini memang buta sejak lahir dan ia bertemu dengan Yesus yang mengaduk tanah dengan air ludahnya dan menyuruh ia membasuh mukanya di kolam Siloam. Ia akhirnya bisa melihat dan SIKAP DASAR, DISPOSISI-nya mengarah kepada Dia yang menyembuhkannya. Awalnya, ia mengenali Dia sebagai “yang menyembuhkan”; kemudian ketika orang-orang Yahudi mempersoalkan, kepada orang-orang Farisi ia mengungkapkan pendapatnya bahwa Ia adalah “seorang nabi”. Pada waktu ia bertemu dan berbicara dengan Yesus, Yesus bertanya tentang SIKAP DASARnya, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?”. Ia ingin tahu tahu siapakah Anak Manusia itu. Ketika Yesus menjawab “Engkau bukan saja melihat Dia! Dia yang sedang berbicara dengan engkau, Dia lah itu”. Maka orang ini pun langsung berkata “Aku percaya, Tuhan!”. Orang ini mengalami apa yang disebut dengan PROSES PENGLIHATAN BATHIN. Inilah proses iman yang sejati: mengalami mukjijat penglihatan bathin, bukan melulu penglihatan fisik/indera saja. Dan ini bisa terjadi pada siapa saja, bukan hanya orang yang melihat dan mengalami sendiri. Orang bisa melihat sendiri tetapi tidak mengalami proses penglihatan bathin, maka -seperti orang-orang Yahudi- mereka tidak mengenali Yesus. Inilah sebabnya, Yesus berkata kepada Tomas, “Karena telah melihat Aku, maka nekgau percaya. BERBAHAGIALAH MEREKA YANG TIDAK MELIHAT, NAMUN PERCAYA” artinua Berbahagialah mereka yang mengalami proses penglihatan bathin.
Masa pandemi covid 19 ini menjadi masa yang baik bagi kita untuk merenungkan; apakah kita mengalami proses penglihatan bathin ini. Kita bisa memeriksa hidup kita, apakah pengalaman-pengalaman keseharian kita, mampu kita teropong dan membuat kita mengalami proses penglihatan bathin itu.