Minggu Biasa V/C
February 6, 2022
Yesaya 6: 1-2a.3-8; 1Kor 15: 3-8.11; Lukas 5: 1-11
Bacaan-bacaan hari ini berbicara tentang panggilan (Yesaya, Paulus dan Simon), yang bagaimana pun juga mengingatkan kita akan “panggilan” kita sebagai pengikut Kristus di masa ini. Tidak seperti Markus dan Matius, yang menyatakan Simon akan menjadi “penjala manusia” (kata benda), Lukas memakai kata kerja untuk tugas baru Simon Petrus, “mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. Banyak dari kita mengartikan tugas ini sebagai “mencari jiwa-jiwa baru” yang bisa dikristenkan. Kalau tugas ini kita mengerti seperti itu, maka pertikaian agama akan terus berlangsung; Agama Katolik akan mudah dituduh melanggar Hak Asasi Manusia, karena mengkristenkan orang yang sudah beragama, beriman. Selain itu, mungkin kita akan mudah untuk dininabobokan, karena kenyataannya rasio jumlah umat dan imam tidak memadai. Supaya umat dapat terlayani dengan baik, berhenti saja menjala manusia, menambah jumlah umat.
Injil Lukas tidak hanya mengubah tempat/plot peristiwa ini dari sumbernya, Markus, tetapi dia juga menggunakan kata “menjala manusia”, “anthropus (esse) zoogron” (Yunani) bisa diartikan sebagai “akan bekerja keras menangkap manusia dari maut untuk suatu kehidupan”. Inilah kiranya yang harus menjadi kesadaran kita saat ini. Bila kita memperhatikan keadaan sekitar kita, maka tugas panggilan ini masih sangat relevan. Mari kita lihat:
Adalah wajah Gereja di Kalimantan Barat ini, satu paroki memiliki puluhan bahkan ada yang ratusan stasi dan hanya dilayani oleh 2 imam. Maka jelas dari sisi waktu, imam hanya dapat menjangkau beberapa stasi saja selama satu tahun; sementara itu di sekitar umat-umat stasi, dipenuhi dengan pendatang-pendatang baru dengan berbagai latar belakang yang memberi pengaruh kepada mereka. Sama halnya dengan yang di kota. Ada begitu banyak umat berada di kota, mereka berhadapan dengan budaya-budaya baru, yang mengajak mereka untuk mengubah gaya hidupnya, yang seringkali dapat menjauhkan mereka dari Allah. Mereka itu benar-benar seperti domba-domba yang berada di tengah serigala. Di sinilah relevansi panggilan kita saat ini.
Pada saat seperti itu, suara Allah yang ditujukan kepada Yesaya, juga berlaku untuk kita, “Siapakah yang akan Kuutus? Dan siapakah yang akan pergi atas namaKu?” Adakah dari antara kita yang berani menjawab dengan tegas “Inilah aku! Utuslah aku!”?
Dari pengalaman selama ini, banyak orang “tutup mata dan telinga” terhadap kenyataan ini. Kalau didekati dan dimotivasi, jawabannya selalu “saya belum siap”, “saya belum layak”, “saya tidak pantas”.
Kita perlu waspada dengan jawaban ini. Ketidakpantasan ini berasal dari mana? Dari pengalaman akan Allah? atau dari suara Setan? Mari kita belajar dari Skema Rohani yang benar dari bacaan-bacaan hari ini. Yesaya, Paulus dan Simon Petrus mengalami ketidakpantasan, ketidaklayakan (-mungkin seperti kita-) karena mereka mengalami kehadiran Allah. Yesaya mengalami penampakan kekudusan Allah yang dikelilingi para malaikat, Serafim, lalu menyadari kenajisan bibir dan keberdosaannya. Paulus mengalami kehadiran Allah pada saat Yesus yang bangkit demi dosa manusia, dan menampakkan diri juga kepadanya. Simon mengalami kehadiran Allah ketika Yesus masuk ke dalam perahu dan meminta menolakkannya ke tempat yang lebih dalam.
Mereka mengalami ketidakpantasan justru ketika mereka mengalami paradoks dalam hidup mereka. Yesaya sebagai orang yang najis bibir dan berpotensi besar untuk menjadi pendosa lagi, karena hidup di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, tetapi dosanya dihapuskan begitu saja. Paulus memperoleh kasih karunia Allah yang selalu menyertainya, sehingga ia tidak mau menyia-nyiakannya. Simon Petrus yang awalnya membantah atas dasar profesionalismenya sebagai nelayan, namun karena kata-kata epistata, yang di atas, yang ditaati, sekarang ia memanggil Kurie, Tuhan.
Darimanakah “ketidakpantasan” kita? Dari pengalaman rohani akan kehadiran Allah? persekutuan kita dengan Allah? Atau suatu rasionalisasi untuk menghindar? Untuk mementingkan yang dangkal-dangkal? Hati-hati, jangan-jangan itu berasal dari Setan!
Bila demikian, kiranya kita memerlukan apa yang oleh sahabat saya disebut “second chance”, Kesempatan Kedua. Kesempatan kedua seringkali diartikan, orang telah diselamatkan, dihindarkan dari peristiwa yang tragis, lalu menafsirkan Tuhan masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri, dengan mengabdikan diri pada tugas perutusan Allah. Kiranya kita tidak perlu menunggu saat seperti itu. Kecerobohan kita, menjawab dengan sembarang saja, bahwa kita tidak layak, kita tidak pantas, bisa kita jadikan sebagai kesempatan pertama yang kita hilangkan; pengabaian yang kita lakukan selama ini. Biarlah itu menjadi kesempatan pertama, dan mari kita mencoba kesempatan yang kedua, dengan menjawab “Ini aku! Utusalah aku!”. Biarlah kita membiarkan diri kita diutus Tuhan untuk mengusahakan dengan keras menangkap manusia-manusia, saudara-saudari kita yang berada dalam bahaya maut, kita tuntun dan bawa mereka kepada kehidupan. Kita laksanakan tugas yang diberikan Yesus kepada Simon, yang juga diberikan kepada kita “Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”.