Minggu Biasa II
January 19, 2020
Yesaya 49: 3. 5-6; 1 Korintus 1: 1-3; Yohanes 1: 29-34
Minggu yang lalu Yesus dideklarasikan oleh Allah: Deklarasi dari Atas. Hari ini Yesus dideklarasikan oleh Yohanes Pembaptis: Deklarasi dari Bawah. Pewartaan Minggu yang lalu mampu membuat umat terserap karena ada nuansa “supranatural”: langit terbuka, acara cahaya turun, Roh Tuhan dalam rupa burung merpati, dan suara (yang mungkin menggelegar). Tetapi ada apatisme pada saat ini karena tidak ada yang luar biasa. Sebutan yang diberikan oleh Yohanes Pembaptis pun -Anak Domba Allah- mungkin tidak mampu membuat “chemistry” umat. Bahkan mungkin keterangan “yang menghapus dosa dunia” pun tidak ada titik sentuh dengan umat jaman sekarang.
Tetapi St. Vinsensius, pendiri Imam-imam CM, meminta kami untuk mewartakan (kalau bisa di gereja Katedral, kalau tidak, ya di gereja Paroki; kalau tidak bisa, ya di kapel; bahkan kalau tidak bisa di kapel, di tempat tidur sekalipun, kami harus mewartakan), maka kabar gembira Allah harus diwartakan. Deklarasi bahwa Yesus adalah “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” tidak memiliki daya sentuh terhadap jaman sekarang karena dua hal. Pertama, kita tidak mengerti arti ungkapan “anak domba”, bahkan mungkin ada yang tidak mengerti apa domba itu. Kedua, pemberitahuan bahwa Ia akan menghapus dosa dunia, tidak memiliki daya sentuh, karena banyak orang beragama jaman sekarang tidak memikirkan soal dosa dan akibat-akibatnya. Dulu, melihat gambar seronok sedikit saja, orang sudah merasa berdosa. Sekarang malah orang mencari-cari gambar-gambar yang menggairahkan nafsu seksual. Dulu, perselingkuhan dilakukan sembunyi-sembunyi, beberapa kasus yang ada menunjukkan bahwa orang sudah berani terang-terangan. Dosa sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan sampai-sampai ada meme yang menceritakan demo besar-besaran yang diadakan oleh para setan di hadapan Allah. Mereka tidak mau lagi menjadi setan, karena sudah tidak ada yang dikerjakan lagi: manusia-manusia sudah menjadi setan.
Sekalipun dosa sudah tidak menjadi sesuatu yang menakutkan, lalu apakah manusia tidak berdosa lagi? Apakah tidak ada lagi akibat-akibat dosa? Dosa dan akibatnya tidak seperti pada jaman Yesus. Pada jaman itu, dosa memiliki kaitan dengan apa yang terjadi pada fisik. Sakit fisik yang diderita manusia adalah akibat dari dosa. Kalau penyakitnya ringat, maka itu berarti dosanya juga ringan. Kalau penyakitnya parah, maka itu menandakan bahwa dosa yang dilakukan banyak dan berat sekali. Ingat ketika Yesus dan murid-muridNya berhadapan dengan seorang yang mengalami kebutaan sejak lahir, pertanyaannya adalah “siapa yang berdosa? orang yang bersangkutan? atau orangtuanya?”. Supaya orang dibebaskan dari dosa-dosa itu, orang harus mendapatkan kambing atau domba, terutama yang berwarna hitam (kita mengenal istilah “kambing hitam”); setelah diadakan upacara, kambing/domba itu akan dibawa ke padang gurun dan dilepaskan di sana. Apa yang akan menimpa kambing/domba itu (panas terik matahari, kesulitan mendapatkan air, tidak ada makanan, berjalan tak tentu arah, dan akhirnya mati sendirian) adalah proyeksi atas akibat dosa manusia. Kambing/domba ini menjadi silih, pengganti dari kesengsaraan yang diterima manusia. Inilah maknanya kalau disebut “anak domba”. Inilah yang disebutkan Yohanes Pembaptis tentang Yesus, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia”.
Memang Gereja menyatakan bahwa itu adalah konsep dosa jaman dulu. Sekarang Gereja mengajarkan bahwa Allah tidak pernah menghukum. Hukuman itu disebabkan oleh akibat dari keputusan bebas manusia. Kalau mereka menolak Kristus, ya hukumannya ialah mereka tidak bisa menikmati rahmat keselamatan kekal. Jaman sekarang, hukuman atas dosa/keputusan bebas kita itu termanisfestasikan dalam bentuk lain: orang gelisah terus menerus, sehingga takut bertemu dan berhadapan dengan orang-orang tertentu; orang mengucilkan diri dari perjumpaan dengan orang lain, apalagi masyarakat; orang memiliki kecenderungan kepo atas urusan dan kehidupan pribadi orang lain; orang bersikap agresif, selalu ingin menyerang; kata-kata yang dipilih adalah kata-kata kasar, tak beradab. Hal-hal seperti itu bisa jadi menjadi cerminan apa yang belum beres di dalam diri seseorang. Mungkin orang tidak merasa perlu mengakukan dosa; tetapi orang tetap memerlukan penyembuhan dari gejala-gejalan seperti di atas. Kalau toh kita tidak memerlukan “Anak Domba Allah”, Yesaya membantu kita. Ia mengatakan bahwa Hamba Allah ini adalah “terang bagi bangsa-bangsa”. Kita memerlukan terang yang bisa memberi pencerahan atas hidup kita; yang menuntun kita dalam memilih dan mengambil keputusan; kita memerlukan terang yang menunjukkan kita memilih kata-kata dan nada yang mengenakkan banyak orang. Kita memerlukan terang yang bisa -seperti Santo Paulus dalam bacaan II- memberikan damai sejahtera kepada sesama kita.
Mari kita mengarahkan bukan hanya pandangan mata kita saja, tetapi juga seluruh hidup kita ke Anak Domba Allah yang adalah terang bagi bangsa-bangsa.