Minggu Advent IV-A

December 22, 2019

Kitab Nabi Yesaya 7: ; Surat Rasul Paulus kepada Jemaat d Roma 1: 1-7; Matius 1: 18-24

Kita berada pada penghujung masa Advent. Kita diajak untuk makin jelas menentukan sikap terhadap kehadiran Kristus dalam hidup kita, baik dalam dimensi pribadi maupun sosial.

Kepada kita dihadapkan misteri inkarnasi dalam dua wajah dan wilayah. Bacaan I menampilkan wajah penolakan dalam wilayah sosial, sementara Bacaan Injil mewakili wajah penerimaan dalam wilayah privat. Kita bisa memperdalamnya ketika kita memasuki konteks yang ada di seputar dua pribadi itu. Ahaz sebagai penguasa kerjaaan Selatan merasa terancam ketika Pekah raja Kerjaan Israel di Utara bersekutu dengan raja Rezin dari Damaskus. Ketika Ahaz mulai menengok Tiglat Piletser III dari Asyur dengan kekuatan adidayanya, tampillah Yesaya dengan pesan rohaninya. Ia memberi kesempatan kepada Ahaz untuk meminta tanda ilahi dalam bentuk dan asal darimana saja. Tetapi Ahaz menjawab tidak mau mencobai Allah. Ia menjawab demikian karena hatinya telah berketetapan untuk meminta bantuan Asyur. Ia lebih mengandalkan raja dunia daripada keterlibatan Allah. Pada point inilah Yesaya memberikan tanda bahwa seorang gadis akan mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan seorang anak yang disebut “Immanuel”, Allah-beserta-kita.

Yusup dalam bacaan Injil juga menunjukkan kegundahan yang semacam, tetapi untuk persoalan pribadi. Selama ini ia dengan Maria berada pada taraf penjajagan, pengenalan dalam pertunangan. Bila mereka bisa mengerti dan menyesuaikan satu dengan yang lain, mereka bisa melanjutkan pada jenjang perkawinan; tetapi kalau tidak, mereka masih memiliki kesempatan untuk memutuskan pertunangan secara baik-baik. Pada taraf seperti ini, Yusup memperhatikan perubahan pada diri Maria dan mungkin mendapatkan pemberitahuan dari Maria tentang kehamilannya. Ia pun tidak ingin mempermalukan Maria di depan umum, karena itu ia hendak memutuskan pertunangan itu secara diam-diam dalam lingkup terbatas. Malaikat pun muncul dalam mimpi menegaskan bahwa bayi yang ada dalam kandungan Maria berasal dari Roh Kudus, yang harus dilahirkan dan Yusup harus menamai Dia “Yesus” karena Dialah yang akan menyelamatkan manusia.

Benang merah dari dua peristiwa ini adalah realitas bahwa “Yang Ilahi” (dari Roh Kudus) harus terjadi melalui “peristiwa manusiawi”; hanya dengan pola inilah keselamatan dapat dirasakan; kehadiran Allah yang menyertai manusia mempunyai daya penyelamatan yang luar biasa.

 

Peristiwa Ilahi yang terkandung dalam peristiwa Natal bisa terjadi juga dalam peristiwa-peristiwa manusiawi kita. Ia mungkin muncul dalam peristiwa manusiawi dalam wilayah pribadi kita (pergulatan-pergulatan hidup pribadi), atau pun muncul dalam peristiwa manusiawi dalam wilayah sosial dan profesional kita (pergaulan, pekerjaan, perjumpaan kita dengan orang-orang baru, dsb.). Pada saat seperti itu, apakah sikap bathin kita? Menolak atau menerima? Memberi kesempatan kepada “(Peristiwa) Yang Ilahi” untuk terwujud dalam peristiwa-peristiwa manusiawi itu? Ataukah kita membiarkan peristiwa-peristiwa manusiawi terjadi sekedar untuk peristiwa manusiawi?