Malam Paska Tahun A

April 14, 2020

Matius 28: 1-10

Perikop injil hari ini menampakan sesuatu yang menarik. Dalam satu perikop, dikatakan dua kali bahwa Maria Magdalena dan Maria yang lain perlu menyampaikan pada para murid bahwa Yesus telah pergi mendahului ke Galilea menginginkan para murid juga pergi ke Galilea karena disanalah mereka akan melihat Tuhan. Hal ini dikatakan baik oleh malaikat maupun oleh Yesus sendiri. Hal ini membuat saya bertanya-tanya: mengapa mesti pergi ke Galilea. Para murid sudah berada di Yerusalem, di pusat kekuasaan, berada bersama-sama dengan orang dari segala bangsa. Paramurid mungkin juga bertanya-tanya: mengapa tidak menyuruh pergi ke Bethlehem, tempat Yesus dilahirkan, karena mungkin masih ada orang-orang yang akan menerima mereka. Mengapa Ā juga tidak pergi ke Nazareth karena keluarga Yesus berada di situ sehingga bisa erima dan menjamu mereka dengan baik.

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita melihat apa yang sedang terjadi pada diri para murid. Para murid sedang mengalami ā€“ apa yang disebut dalam Bahasa rohani- ā€œdesolationā€, segala perasaan yang buruk ada pada mereka setelah penangkapan, penyiksaan dan kematian Yesus. Mereka merasa geram, kecewa, patah semangat, ketakutan; misalnya saat Petrus ditanya apakah ia murid Yesus, ia menjawab ā€œBukanā€, karena ia takut. Ketika merasakan ā€œdesolationā€, mereka cenderung menarik diri dan kemudian melupakan segala hal yang pernah mereka nikmati, kekuasaan yang diberikan Yesus. Demikian juga seluruh mimpi yang mereka miliki ambruk: duduk di sebelah kanan, jabatan tertentu saat Yesus menjadi raja. Semua mimpi-mimpi itu runtuh ketika tahu Yesus tidak mampu membela diri dan mati di kayu salib. Satu kegagalan Kristus, satu kelemahanNya membuat ambruk segala hal positif yang dialami para murid. Seperti kata peribahasa Indonesia: nila setitik, rusak susu sebelanga.

 

Apa yang dialami para rasul, bisa juga kita alami; baik dalam diri sendiri, keluarga, komunitas, paroki, maupun keuskupan. Bisa jadi hanya dengan satu kesalahan, segala-galanya ambruk. Misalnya seorang anak yang selalu dipuji karena prestasinya, karena ketaatannya pada orangtua, tidak pernah melaklukan kesalahan, tetapi ketika dia melakukan satu kelalaian, sepertinya seluruh kesalahan yang terjadi selama ini, semuanya ditimpakan kepadanya. Ā Suami istri yang sedang berkonflik karena berbeda pendapat. Hanya karena itu, seluruh kebaikan dan keindahan rumah tangga yang dibangun selama ini ambruk, lenyap; yang ada adalah kesalahan belaka.

Bagaimanakah suami istri atau keluarga menyelesaikan masalah mereka seperti itu? Ada sebuah kisah di sebuah kehidupan rumah tangga. Pada suatu ketika sang suami ingin menceraikan istrinya. Sang suami sudah bosan dan sungguh sangat ingin mencerikan istrinya. Sang istri sudah berusaha melakukan banyak hal untuk memulihkan hubungan rumah tangga danĀ  memohon supaya sang suami tak menceraikannya. Tapi sang suami masih tetap pada keinginan untuk bercerai. Maka mendekati hari perceraian, karena sudah tidak mampu lagi meyakinkan suami, sang istri meminta agar sang suami menggendongnya dari dalam rumah hingga pintu setiap hari, setiap kali suami berangkat bekerja. Permintaan ini berasal dari pengalamannya dulu saat pertama kali mereka bertemu; perempuan ini hamper terjatuh dan ditangkap dalam gendongan laki-laki yang ada di dekatnya, yang kemudian menjadi suaminya ini. Demikian juga saat selesai upacara pernikahan, sang suami menggendong sang istri dari mobil sampai masuk ke dalam rumahnya. Peristiwa monumental inilah yang diminta sang istri untuk dilakukan sang suami sebelum sidang perceraiannya. Di hari pertama dan hari-hari awal, dipenuhi dengan hati panas dan tetap pada keinginannya untuk bercerai. Hingga mendekati hari perceraiannya, akhirnya sang suami berlutut di hadapan sang istri dan memutuskan untuk tidak mencerikan sang istri. Menggendong istri setiap pagi mengembalikan ingatan suami akan peristiwa-peristiwa indah pada perjumpaan mereka, dan niat mereka untuk membangun rumah tangga. Pengenangan kembali akan peristiwa indah itulah yang akhirnya membuat suami batal menceraikan istrinya dan mereka membangun hidup rumah tangga yang harmonis.

 

Inilah kiranya yang dilakukan Yesus ketika meminta Maria Magdalena dan Maria yang lain memberitahu para murid untuk kembali ke Galilea. Galilea adalah kota yang memorable, tempat yang menjadi ingatan bersama bagi para murid. Tempat yang mengingatkan para murid akan pengalaman-pengalaman baik bersama Tuhan Allah, yaitu ketika para murid dipanggil menjadi penjala manusia. Mereka tidak lagi menjala ikan tetapi diberi tugas besar sebagai penjala manusia oleh Yesus. Di Galilea itu, mereka mendapatkan ajaran baru, bukan saja karena disampaikan secara berbeda, tetapi isi ajarannya pun membuka akal budi dan akal sehat mereka. Di Galilea, mereka mengalami kehadiran Yesus sebagai wujud kehadiran Allah karena segala sesuatu yang dikerjakanNya: menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati. Di Galilea itu, para murid ikut merasakan ketenaran Yesus, bahkan para murid pun diberi kuasa oleh Yesus untuk menyembukan orang sakit dan mengusir setan. Mereka seperti domba diutus ke tengah-tengah serigala. Mereka tidak perlu takut, tidak perlu cemas, karena Bapa di Surga dan Roh Kudus akan menjaga mereka. Sekalipun minum racun mereka tak akan mati; jangan takut menjawab pertanyaan sulit, Roh Kudus akan membisikkan jawabannya. Mereka memiliki kuasa menaklukkan setan. Setelah diutus berdua-dua mereka melapor bahwa mereka berhasil menaklukkan setan. Yesus pun mengafirmasi tindakan itu, tetapi juga mengingatkan agar jangan berbangga karena telah melakukan hal hebat, melainkan karena namamu tercatat di surga.

 

Kembali ke Galilea adalah mengenang, menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa indah saat Allah bersama-sama dengan para murid. Inilah yang diinginkan Yesus untuk diingat para murid ketika Yesus mengajak para murid untuk kembali ke Galilea.

 

Malam Vigili Paskah adalah usaha Gereja untuk mengajak kita, umatNya, melihat karya-karya agung Allah dalam menyelamatkan manusia, seperti yang ditunjukkan dalam bacaan-bacaan yang kita dengar malam ini. Maka kita pun diajak untuk kembali ke memorabilia kita, ā€œGalilea Rohaniā€ kita, karya-karya Allah yang kita alami, yang dikerjakan untuk keselamatan kita. Kita diajak untuk mengisi pikiran kita dengan kenangan-kenangan kehadiran Allah yang indah itu. Kita diajak untuk membebaskan kunkungan pikiran negative, desolation, yang disebabkan oleh satu kelemahan, satu kesalahan saja; dan menggantikannya dengan memenuhi ingatan kita dengan karya-karya yang Allah lakukan untuk kita.

Kita pasti pernah mendapat kiriman foto seorang kakek Italia, yang berhasil sembuh dari virus corona. Ia harus membayar 500 euro untuk ventilator (oksigen) yang dikonsumsinya. Kakek itu menangis dan membuat orang-orang rumah sakit bingung dan menyangka bahwa ia tak mampu membayar uang itu. Tapi kakek itu akhirya mengatakan bahwa ia menangis bukan karena tidak mampu membayar 500 euro, tetapi ia sadar bahwa selama 80 tahun hidupnya, ia tidak pernah bersyukur, menghargai oksigen gratis yang diberikan Allah kepadanya. Ia menyadari begitu besar kebaikan Tuhan padanya. Kakek itu sungguh-sungguh mengalami Paskah.

Paskah hanya dapat kita rasakan ketika kita berani memasukkan karya-karya Allah di dalam diri kita, di dalam ingatan-ingatan kita. Tetapi bila kelemahan yang mendominasi hidup kita, kita tidak bisa merasakan Paskah. Hanya ketika kita mau membuat daftar kebaikan-kebaikan Allah yang dilakukan terhadap diri kita maka kita akan dapat merayakan Paskah dengan sebaik-baiknya.

Saat ini menjadi tantangan bagi kita. Ketakutan dan kecemasan akan virus corona dan ketidakpastian yang ia bawa, bisa membuat kita terpaku pada perasaan negative itu. Paska ini mengingatkan kita agar diri kita tidak terkena nila setitik lalu melupakan segala kebaikan Allah selama ini. Paska ini mengingatkan kita, agar kita meninggalkan perasaan desolation itu dan menggantinya dengan perasaan-perasaan positif, ingatan-ingatan akan karya-karya Allah yang dilakukan terhadap kita. Dengan mengenang dan menghadirkan kenangan-kenangan akan karya Allah itu; dan ketika kenangan-kenangan itu mendominasi ingatan kita, akal budi kita dan seluruh diri kita, maka kita dapat Bersama-sama dengan para rasul dan seluruh Gereja, menyerukan Alleluia!!!