Kamis Putih: Perjamuan Tuhan
April 9, 2020
Ada kesamaan Perjamuan kita tahun ini (2020) dengan Perjamuan Yesus maupun Perjamuan awali, yaitu saat Musa dan Harun diminta oleh Allah untuk merayakan Paska, Tuhan lewat. Kesamaannya adalah konteks krisis dan kritis dari Perayaan. Pada Jaman Musa, bangsa Israel merayakannya dalam konteks ketegangan mereka harus siap-siap meninggalkan Mesir pada saat Allah memberikan tulah (bencana) yang terakhir kepada bangsa Mesir, yaitu seluruh anak sulung, baik manusia maupun hewan, akan dilawat oleh Allah dan mereka akan mati.
Sementara itu Perjamuan Yesus berada dalam konteks Yesus akan diserahkan kepada penguasa oleh tua-tua dan pemimpin agama Yahudi seperti sudah empat kali dikatakan kepada para murid. Dan tidak enaknya penderitaan itu dimulai dari ulah salah satu murid yang mengkhianatiNya dengan menjualNya seharga 30 uang perak.
Kita berada dalam keadaan krisis dan kritis karena Pandemi covid 19. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran dengan memisahkan kita satu dari yang lain. Kita harus tinggal di rumah. Itu berarti kita -sadar atau tidak- dikondisikan untuk beranggapan bahwa orang lain jangan-jangan pembawa virus, sama halnya kita juga bisa dianggap orang sebagai pembawa virus. Kita harus benar-benar menjaga kebersihan dan berusaha agar tidak terkena virus itu, sebab ketika kita terkena, bukan hanya rasa sakit dan pergulatan pengobatan dan pemulihan yang kita alami, tapi juga stigma bahwa kita seperti orang terkena sampar yang harus dijauhi; kita seperti orang haram yang harus dikucilkan.
Meski demikian, kita pantas bersyukur karena ada kesamaan yang bisa menjadi kebanggaan bagi kita, karena kita mampu mengalami apa yang secara original dimaksudkan Allah, dan sekaligus kita diajak untuk memaknai peristiwa itu, kita bisa belajar dari peristiwa ini. Apa itu?
Perjamuan awali pada jaman Musa terjadi di dalam keluarga. Setiap keluarga harus merayakan dengan menyembelih seekor domba atau kambing. Kalau keluarga itu terlalu kecih, mereka bisa bergabung dengan keluarga lain. Pengenangan akan peristiwa ini menjadi pesta keluarga, karena ketika mereka menduduki Tanah Terjanji, perjamuan ini tidak lagi dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi dipenuhi dengan cerita tentang keajaiban, kemahakuasaan Allah atas keluarga dan bangsa mereka. Perjamuan itu menjadi perjamu kekeluargaan.
Itulah yang dilakukan Yesus bersama para murid. Mereka adalah satu keluarga yang juga harus merayakan perjamuan tradisional ini: “Di manakah Engkau kehendaki kami mempersiapkan perjamuan Paska bagi-Mu?” (Mat. 26: 17). Dan menariknya Yesus menjawab bahwa perjamuanNya akan diselenggarakan di dalam keluarga: “Pergilah ke kota kepada si Anu …. pesan Guru: waktuKu hampir tiba; di dalam RUMAHMU lah Aku mau merayakan Paska bersama-sama dengan murid-muridKu” (Mat. 26: 18). Menurut versi Yohanes yang kita bacarakan hari ini (Yoh. 13: 1-15), kesempatan yang menegangkan (krisis dan kritis) ini dipakai untuk MENGAJAR para murid tentang melayani dan mengasihi dengan total. Pengajaran itu nampak dari pernyataan Yesus “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak mengerti sekarang, tetapi engkau akan memahaminya kelak.” dan “Mengertikan kamu apa yang Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan…. Nah, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuk kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki.”
Tahun ini kita mempersilahkan Tuhan datang di keluarga kita, untuk mengadakan perjamuan di keluarga kita masing-masing? Pada kesempatan itu, apakah yang Tuhan ajarkan kepada kita? Saya yakin Anda masing-masing mendapatkan pelajaran dari peristiwa ini sebagai keluarga. Tetapi perkenankan saya membagikan renungan pengajaran apa yang diberikan Tuhan kepada kita.
Saya merenungkan pada tahun 2020 ini Tuhan memang menghendaki merayakan perjamuan di dalam keluarga kita masing-masing. Lalu dalam perjamuan itu, apakah yang diajarkan Yesus kepada kita sebagaimana Ia mengajar murid-muridNya untuk melayani dan mencintai? Saya merenungkan Tuhan mengajar kita tentang KELUARGA. Selama ini berapa waktu keluarga kita bisa berkumpul sebagai keluarga? Sekarang hampir 24 jam per hari kita ada-bersama keluarga. Soal kebersamaa, hal yang sering menjadi sorota adalah soal “qualitative time”, atau “prime time”, kebersamaan itu bersifat kuantitatif atau kualitatif, banyak atau lamanya kita bersama keluarga atau kualitas kebersamaan kita dengan mereka. Saat ini kita memiliki kuantitas waktu yang banyak, maka kita bisa mengisinya dengan sesuatu yang kualitatif.
Suami-Istri pada waktu menikah mengucapkan janji satu sama lain bahwa “engkau adalah istri atau suami”, dan masih diakhiri dengan “aku akan mencintai dan menghormatimu selamanya”. Jadi detik demi detik kehidupan rumah tangga adalah ekspresi, ungkapan cinta suami terhadap istri dan istri terhadap suami. Sebelum perjamuan ini bagaimana? Yang sering terjadi adalah masing-masing “take for granted” bahwa mereka sudah suami dan istri. Beres. Mereka mengandaikan bahwa mereka sudah pasti saling mengasihi, karena khan mereka sudah menikah! Benarkah? Makin tambah usia perkawinan, banyak yang bersaksi bahwa cinta mereka makin hambar. Yesus mengajar kita untuk menghayati kebersamaan ini dengan meremajakan cinta suami istri lagi.
Kalau suami istri bertengkar, konflik, beda pendapat, apa yang biasa mereka lakukan? Masing-masing mempunyai banyak waktu dan peluang untuk lari dari rumah dan menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hidup sosial. Suami menghindari perjumpaan dan percakapan dengan istri dan sebaliknya. Sekarang? Memang orang bisa mengurung diri di satu bilik dan membiarkan yang lain berada di bilik lain. Tetapi rumah yang terbatas, “sempit” akan memaksa kalian untuk menjadi “sering” bertemu. Pada kesempatan seperti itu, apa yang kalian lakukan: menghindari perjumpaan? atau memanfaatkan perjumpaan? Mungkin kata “perjumpaan” menjadi salah satu kata kunci Bapa Paus Fransiskus. Kemanusiaan dan harkat martabat kita menjadi makin berarti karena “perjumpaan”; kita tahu bahwa diri kita adalah “aku” karena kita berjumpa dengan “kau”, dengan “dia”. Kalau kita masih berusaha menghindari perjumpaan, Yesus mengajar kita untuk beribadat secara otentik dan orisinil, bukan ritual yang “take for granted” (masuk gereja sudah otomatis beribadah). Kita diajak untuk merasakan betul kebenaran kata-kata Yesus “tinggalkanlah persembahanmu dan berdamailah dulu dengan saudaramu”, istrimu, suamimu, anak-anakmu dan keluargamu. Yesus mengajar kita untuk mau mengampuni.
Bagaimana penampilan kita selama ini? Bagaimana komunikasi kita selama ini? Mungkin karena pendeknya waktu kita bertemu dalam keluarga, sadar atau tidak kita sering “pakai topeng”. Anak-anak kalau ditanya Mamanya bagaimana pelajaran di sekolah, atau apakah ada PR, anak menjawab sekedarnya saja. Mungkin Mamanya juga sedang mengenakan “topeng: mama yang keibuan”, karena apakah anak benar-benar belajar di sekolah atau tidak, mana dia peduli. Istri sering menilpun suami, salah satu yang ditanyakan adalah mengingatkan agar tepat waktu dalam makan, makan apa atau apakah bekalnya sudah dimakan. Pertanyaan ini mungkin sebuah topeng yang dipasang untuk menyelidiki atau mengkondisikan agar suami tidak mengarahkan perhatian kepada yang lain. Istri sebenarnya ingin mengendalikan agar suami ada di tempat yang dia ketahui. Sebaliknya suami juga sering menilpun istri untuk memberitakan hal kecil-kecil, bukan karena penting, tapi supaya menghindari tilpun istrinya yang bisa berlangsung lama. Tilpun istri bisa menjadi hal yang patut untuk dihindari.
Sekarang? Kalian berada saling berdekatan. Hampir tidak mungkin memakai topeng satu terhadap yang lain. Kalian harus tampil apa adanya, otentik dan berkomunikasi dengan tulus. Kepada siapa kalian menilpun akan kelihatan lebih lama siapa yang biasanya ditilpun? Logat, intonasi suara kalian bisa dibaca satu sama lain: kenapa kalau menilpun dia, salah satu harus mengambil jarak, kok intonasinya lembut dan telaten, kok beda dengan kalau salah satu pasangan yang berbicara. Yesus mengajarkan kita untuk mengatakan “Ya” bila ya dan “Tidak” bila tidak; selebihnya berasal dari setan.
Masih ada banyak yang bisa kita gali. Tetapi tetap inti dari perayaan ini ialah bahwa Allah hadir dan mengadakan perjamuan di dalam keluarga kita masing-masing. Di dalam perjamuan itu, Allah mengajar kita bagaiman hidup keluarga kita. Semoga keluarga kita benar-benar menjadi kesempatan bagi Allah untuk hadir dan mengajar kita. Amin.