Kamis Advent Keempat
December 23, 2022
1Samuel 1: 24-28; Lukas 1: 46-56
Setiap benda itu memiliki berat obyektif. Berat benda 5 kg, diangkat oleh siapa pun ya beratnya 5 kg. Tetapi benda dengan berat 5 kg bisa menjadi beban berat sekalipun diangkat oleh orang yang berotot; dan diangkat dengan ringan bahkan oleh orang yang sangat lemah. Berat-ringan nya sesuatu tergantung pada sikap hati seseorang. Dalam perspektif inilah kita bisa menerangkan mengapa Maria masih mampu bersukacita, masih mampu memuliakan Tuhan.
Ada sikap hati orang yang “mau, asal tidak sulit”. Orang seperti ini hanya mengerjakan hal-hal yang mudah, yang menyenangkan, yang bisa dikerjakan dengan mudah, tanpa menggunakan pikiran. Kalau menghadapi kesulitan, orang seperti ini akan mudah marah, dan bahkan putus asa.
Sikap hati berikutnya adalah orang yang “mau, meskipun sulit”. Orang seperti ini memiliki semangat yang lebih. Memang bisa jadi mereka ini terkesan “terpaksa”, “reaktif”, namun kesediaannya menghadapi kesulitan menjadi modal yang pantas diperhitungkan. Orang seperti ini akan berusaha untuk menyelesaikan hal-hal yang sulit dan tidak mudah putus asa. Ia menganggap normal ketika kesulitan datang.
Sikap hati yang terakhir dan paling tinggi kualitasnya adalah orang yang “mau, justru karena sulit”. Dari kata-kata ini jelas bahwa orang ini suka tantangan dan dengan demikian juga memiliki semangat lebih, yang disimpan untuk menghadapi kesulitan dengan jenis apa pun. Ia tidak akan pernah berputus asa, bahkan akan menghadapi kesulitan-kesulitan dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Semangat inilah yang dimiliki oleh Maria, gadis desa yang lugu itu. Ia tahu bahwa ia memiliki mimpi-mimpi seperti gadis-gadis lain. Tetapi ketika ditawarkan untuk mengandung, ia tahu bahwa hal ini bukan hal mudah, tetapi menantang: bagaimana menjelaskan kepada Yusuf, pacaranya? Bagaimana menjelaskan kepada orang tuanya? Bagaimana menyelesaikan pertunangan yang telah diketahui umum? Ia dengan penuh keyakinan, bersedia mengambilnya: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”. Ia mengatakan dalam bahasa hatinya, “Aku mau justru karena tawaranmu ini sesuatu yang sulit”.
Bacaan I mengajar kita untuk melihat sikap Hana yang juga dimiliki oleh Maria. Sepanjang hidup ini Hana berdoa untuk “memiliki” seorang anak. Tetapi sungguh menarik, bahwa kitika ia mendapatkan anak, ia mempersembahkannya kepada Allah. Ia tidak mau memiliki dan menghaki anak itu, tetapi ia mempersembahkannya kepada Allah. Kerangka “mempersembahkan kepada Allah” itulah yang membuat Hana datang ke Bait Allah untuk mengucap syukur. Inilah yang terjadi pada Bunda Maria. Kesediaannya dan segala konsekuensinya dipersembahkan kepada Allah.