Kamis Advent Kedua: Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda

December 8, 2022

Kejadian 3: 9-15.20; Efesus 1: 3-6.11-12; Lukas 1: 26-38

Pada 8 Desember 1854, sekitar 24 tahun setelah Bunda Maria menampakkan diri kepada Suster Catharina Laboure PK (Puteri Kasih) untuk membuat medali dengan tulisan “Ya Maria, yang dikandung tanpa noda, doakanlah kami yang berlindung kepadamu”, Paus Pius IX mengeluarkan Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda (Ineffabilis Deus). Orang bisa mempertanyakan bagaimana Paus bisa “mengada-ada” ajaran yang di Kitab Suci tidak ada? Kita tidak akan membahas teologi dogma ini, tetapi mencoba mengerti secara sederhana supaya kita bisa merefleksikan dan menghayati dogma ini.

Gereja Katolik selalu “menguduskan”, “mengkhususkan” hal-hal yang dipergunakan sebagai perlengkapan liturgi, peribadatan. Satu meja dikuduskan sebagai “altar”, maka meja itu bukan sekedar meja yang bisa dipakai untuk menandatangani dokumen pengantin; tetapi meja ini khusus dipakai untuk menghunjukkan persembahan Kristus, yang juga adalah Kristus sendiri. Ketika kain dikuduskan untuk membersihkan piala yang juga dikuduskan sebagai piala dalam perjamuan, maka kain itu menjadi “purificator“, memurnikan kembali piala yang baru dipakai; dan dia tidak bisa dipakai sebagai sapu tangan.

Rahim Perawan Maria akan dipakai untuk mengandung Bayi Yesus, maka ia perlu dikuduskan, dikhususkan untuk Allah yang terkandung dalam rahim Maria. Pengkhususan ini tentu terjadi sejak awal pengandungan Maria. Allah berkarya melalui orangtua Maria agar memberikan perhatian, pendidikan iman dan moral yang baik dari selama pengandungan, kelahiran dan perkembangan Maria. Hal ini pula yang membuat Maria berani menerima tawaran, ajakan Malaikat Gabriel untuk mengandung bayi Yesus.

Apa yang bisa kita renungkan? Pengkhususan. Rahim dan seluruh Pribadi Maria DIKHUSUSKAN untuk Allah. Kita pun -lewat pembaptisan- DIKHUSUSKAN: “bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu”, begitu Sabda Tuhan. Dalam doa-NYa pun, Yesus menyatakan bahwa “mereka ada dalam dunia, tetapi mereka bukan dari dunia ini”. Nah, sudahkah kita hidup sebagai orang yang dikhususkan itu? Kita ada dalam dunia dan bukan makhluk dunia ini; sudahkah hidup kita mencerminkan diri sebagai manusia ilahi? ataukah unsur duniawi jauh lebih kuat? Sudah kah kita menampilkan diri sebagai makhluk surgawi, sebagai anak-anak Allah.

Pembaptisan kita menunjukkan bahwa kita dikhususkan dari yang lain-lain sebagai anak-anak Allah. Marilah kita hidup sebagai orang yang dikhususkan, sebagai anak-anak Allah.