Jumat Agung Pagi: Jalan Salib Tuhan

April 17, 2023

JUMAT PAGI

IBADAT JALAN SALIB: MENGENANG SENGSARA TUHAN

 

Gereja mempertahankan devosi Jalan Salib. Apa yang bisa kita pelajari dari devosi suci ini?

Ibadat Jalan Salib terdiri atas 14 Perhentian yang menggambarkan kisah sengsara Yesus mulai dari penangkapan sampai dengan kematianNya dan dimakamkanNya. Setiap perhentian mengandung makna dan renungan yang bisa menginspirasi, misalnya perhentian ke-4, ketika Yesus berjumpa dengan Ibunya. Mereka saling berpandangan. Pandangan seperti apakah yang mereka saling lontarkan? Seorang ibu bisa menunjukkan kesedihan dan penyesalan, bahwa selama ini dia salah mendidik, sehingga anaknya nakal dan akhirnya ditangkap aparat. Seorang ibu juga bisa memandang dengan kemarahan, sehingga pandangannya menyampaikan pesan, rasakan sendiri, ini akibat ulahmu yang selalu memberontak orang tua. Dan kita masih bisa membuat sederetan makna lagi. Tetapi yang sering saya kontemplasikan, pandangan mereka adalah pandangan yang saling meneguhkan. Mata Bunda Maria menunjukkan peneguhan kepada PuteraNya, apa yang pernah PuteraNya ajarkan kepada orang-orang “IbuKu dan Saudara-saudariKu adalah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya”; peneguhan bahwa inilah konsekuensi dari pernyataan “Bukan kehendakKu yang terjadi, tetapi kehendakMu lah yang terjadi”, karena “aku ini hanya hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanMu itu”.

Namun kita pun bisa belajar dari keseluruhan Jalan Salib itu. Pada ibadat Jalan Salib, setiap perhentian selalu dibuka oleh pemimpin dengan ungkapan upaya umat untuk “menyembah dan bersyukur kepada Allah”. Lalu disahut oleh umat dengan alasan upaya itu, “sebab dengan Salib SuciMu, Engkau telah menebus dunia”. Kisah Sengsara ini berada dalam konteks penebusan dunia. Penderitaan dan kematian Yesus ini dilakukan demi menebus dosa umat manusia. Bila demikian, maka persoalan kita adalah menghayati, memaknai penderitaan Kristus. Apakah makna penderitaan itu.

Bagi Yesus, tubuh itu tidak ada artinya. Maka Dia rela disesah, diludahi, ditelanjangi bahkan menjelang nafasNya yang terakhir pun Ia masih dihina dengan hisop yang dicelupkan ke cuka. Yesaya menubuatkan hal ini dengan menggambarkannya seperti domba yang digiring ke pembantaian. Ia lemah, tidak mengembik, badannya tidak lagi berbentuk, tidak lagi menyerupai manusia. Yesus menghayati apa yang pernah dikatakan kalau matamu atau tanganmu menyesatkan engkau, cungkil atau potong saja; sebab lebih baik dengan mata buta atau tangan puntung masuk surga daripada dengan mata lengkap atau tangan lengkap, kamu masuk neraka. Penderitaan tubuh ini tidak ada artinya bila dibanding dengan kemuliaan yang akan diterima. Penderitaan Yesus membawa penebusan bagi banyak orang. Yesaya pun menubuatkan bahwa penderitaan Yesus ini akan membawa bangsa-bangsa bahkan orang-orang terkenal akan kembali kepada Bapa.

Bagi orang modern, Kisah Sengsara Jalan Salib ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Kita diajari oleh masyarakat kita untuk hidup enak, nyaman, muda, sehingga banyak orang berprinsip “Aku mau berkomitmen, asal tidak sulit, asal mudah”. Maka tidak mengherankan kalau banyak orang akan menghindari kesulitan, menghindari penderitaan. Yesus menunjukkan apa yang Dia hayati: “meskipun sulit, Ia mau menerima dan menanggung itu”. Tetapi ternyata ketika kita mengkontemplasikan hidup Yesus, terutama peristiwa di Taman Getsemani, kita menemukan bahwa Yesus rela untuk datang ke dunia dan menjalani kehidupan yang resikonya adalah pemberian hidupNya. Ia mau berkomitmen “justru karena kehidupan yang akan dijalaninya adalah sulit, penuh derita.” Allah tentu menghendaki orang-orang yang seperti itu, “mau justru karena sulit” atau setidak-tidaknya orang yang berani berkomitmen, “meskipun halnya sulit.”

Karena itu mari kita menyiapkan diri untuk mengenangkan Sengsara Tuhan dan memandang Salib Kristus dari sudut pandang yang berbeda, agar iman kita makin diteguhkan dan Salib akan benar-benar menjadi sumber keselamatan kita.