Jumat Agung: Menghormati Salib Kristus

April 10, 2020

Yesaya 52: 13 – 53: 12; Ibrani 4: 14-16; 5: 7-9; Yohanes 18: 1-19.42

 

Dalam kontemplasi, saya menempatkan diri sebagai pengagum Yesus yang berdiri berjarak dari orang-orang, terutama yang bernafsu menjatuhi hukuman berat kepada Yesus. Saya tersenyum bangga, ketika Yesus menjawab “Akulah Dia”, orang-orang pada mundur dan jatuh ke tanah. “Ini baru Yesusku, pahlawanku!!!” begitulah pikiranku. Aku pun ingin Yesus menerapkan apa yang pernah Ia ajarkan “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu” (Luk 12: 11). Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan investigatif Pilatus dengan taktis dan diplomatis, sehingga Pilatus tidak mampu lagi bertanya lebih lanjut. Tapi apa yang terjadi? Yesus merangsang Pilatus untuk mengetahui lebih mendalam dan akhirnya Ia pun memilih diam, yang bisa diartikan oleh orang-orang bahwa Ia mengakui segala tuduhan.

Saya masih memiliki harapan. Saat Ia disiksa, semoga Ia menunjukkan kehebatannya. Seperti Poo, Sang Kungfu Panda, ketika Ia dicambuk, cambuk dan orangnya langsung melenting terpental. Tetapi? Ia malah memberikan punggungNya; demikian juga ketika Ia diludahi, mukaNya diberikan, bersamaan dengan orang mencabuti janggutNya. Saya masih berharap saat Ia menerima salib. Salib itu Ia terima dan Ia lemparkan langsung ke Bukit Golgota atau Ia menerimanya dan langsung dibawanya lari mendahului yang lain. Tetapi? Ia malah memanggulnya dengan tertatih-tatih, sehingga Ia jatuh beberapa kali, sampai-sampai Simon Kirene pun harus dipaksa untuk membantu memanggul salib itu.

Harapan saya masih muncul walaupun tangan dan kaki Yesus sudah terbelenggu oleh paku-paku di kayu salib. Ia mungkin masih bisa menghembuskan api tegangan tinggi dari mulutNya atau Ia melepaskan diri dari kayu salib itu dan melayang-layang diantara mereka. Tetapi? Ia malah mengeluh dan berbisik “Aku haus”. Harapan saya pun habis ketika Ia mengucapkan “Selesailah sudah”. Saya pun bertanya: mengapa Yesus memilih untuk nampak lemah, kalah, penuh derita? Mengapa Ia tidak menunjukkan kegagahan dan kuasaNya? Mengapa Ia tidak mengalahkan mereka? Tetapi akhirnya saya pun bertanya: mengapa saya menginginkan kemenangan, kegagahan, kekuasaan, kekuatan? Apakah hal ini lebih baik dari kegagalan, kelemahan, penderitaan, kesengsaraan, sehingga perlu lebih dipilih? Apakah kegagalan, kekalahan, penderitaan, dsb. itu adalah buruk, sehingga perlu dihindari?

Yesus memilih “kekalahan, kelemahan, sengsara dan akhirnya wafat”, karena pilihan bebasNya. Ia memilih untuk belajar taat, seperti kata penulis surat kepada orang Ibrani. Ia mengandalkan Allah yang akan mengaruniakan orang-orang besar sebagai rampasan, seperti dikatakan Yesaya dalam bacaan I. Ia memilih hanya melakukan kehendak Bapa, Ia melakukan pekerjaan BapaNya; dan dengan itu Ia memuliakan BapaNya yang nantinya akan memuliakan Dia (Teologi Yohanes). Bagi orang yang memilih untuk mencari dan mengusahakan kemuliaan Allah, keberhasilan tidak lebih baik dari kegagalan, kemenangan tidak lebih baik dari kekalahan, kesehatan tidak lebih baik dari sakit. Dengan itu Yesus tetap mengalami “consolation”, kegembiraan rohani. Pada versi penginjil lain, dikatakan bahwa Yesus masih mendoakan orang-orang yang berteriak-teriak “salibkan Dia” dengan doa “Tuhan, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!”. Itu artinya, meskipun Yesus mengalami -apa yang bagi kebanyakan orang- kekalahan, kegagalan, segala perasaan negatif, tetapi secara rohani Ia tetap mengalami kebahagiaan.

Keadaan kita sekarang juga menimbulkan aneka perasaan; berbagai perasaan negatif bisa berkecamuk: kita takut terkena virus, yang akhirnya bisa menyebabkan kerusakan paru kita; kerusakan itu bisa membuat kita mati; bahkan dalam kematian itu, kita bisa menambahi bagaimana kalau kita mati sendirian; dan dimakamkan sendirian, tanpa kehadiran sanak saudara. Bukan hanya itu, kita akan mendapat stigma sebagai orang yang terpapar yang harus dijauhi, karena bisa menularkan kepada orang lain. Tidak cukup sampai di situ, kalau kita mau terhindar, kita harus mengubah tata kehidupan kita: ambil jarak dari yang lain, selalu memakai masker, menjaga kesehatan, sebentar-sebentar cuci tangan, ganti baju, mendisinfektankan segala yang ada di sekitar kita. Bahkan dalam berrelasi, berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain saja, kita harus hati-hati, memilih kata yang tepat supaya tidak menyinggung perasaan orang lain. Nah dalam kecamuk aneka perasaan negatif ini, masih bisakah kita mengalami “consolation”, kegembiraan dan kebahagiaan rohani seperti Yesus. Ataukah kita terseret oleh aneka perasaan negatif itu?

Mari kita belajar dari Yesus: tetap menghayati kegembiraan, kebahagiaan rohani (“consolation”) sekalipun kita didera aneka perasaan negatif, karena kita mendahulukan pekerjaan-pekerjaan Bapa di Surga.