Minggu Biasa XXIX-A

October 18, 2020

Matius 22: 15-21

Pertanyaan murid-murid orang Farisi dan orang-orang Herodian, “Bolehkah (membayar pajak kepada Kaisar atau tidak)?” terkesan moralistik. Apakah ini yang diwartakan Matius pada perikop ini? Kayaknya terlalu simple.

Perikop ini sejajar dengan Matius 21: 23-27, ketika orang-orang Farisi mempertanyakan kuasa Yesus. Yesus tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan mereka, tetapi Yesus mengajak mereka untuk melihat apa yang sebenarnya berkecamuk dalam sikap dan hati mereka. Bagaimana menjelaskannya?

Orang-orang Farisi berpandangan bahwa secara religius, tanah yang mereka tempati, diami, adalah tanah yang memang telah dijanjikan dan dianugerahkan Allah bagi leluhur mereka; leluhur itu mewariskan secara turun temurun kepada mereka. Maka ketika pemerintahan Romawi yang telah menjajah dan menguasai tanah mereka, memungut pajak tanah (“kensos”), secara prinsip mereka tidak bisa menerima hal ini. Mereka tidak mau mengakui dan menerima hak pemungutan pajak tanah oleh pemerintahan Romawi. Tanah ini adalah tanah leluhur, mengapa mesti harus membayar pajak. Mereka juga masih harus membayar pajak Bait Allah, yang banyak disebut sebagai “persepuluhan”.

Ini berlaku untuk orang-orang Yahudi warga Yerusaleh, Yehuda maupun Galilea di bagian Utara. Tetapi orang-orang Yahudi yang berkewarganegaraan Romawi tidak perlu membayar pajak tanah. Mereka hanya perlu membayar pajak pendapatan.

Tetapi di situ juga ada orang-orang Herodian, orang-orang Yahudi dari Yerusalem dan Yudea yang tinggal di Galilea. Mereka ini adalah pengikut, simpatisan Herodes Antipas, seorang pribumi yang mendapat dari pemerintah Romawi kewenangan sipil dan militer di daerah Galilea di Utara. Mereka ini setuju dengan kebijakan pemungutan pajak tanah atas orang-orang Yahudi. Tetapi mereka tidak menginginkan pajak itu diserahkan ke Roma, tetapi tetap tinggal pada mereka untuk kepentingan dan kekuatan politik di Yerusalem dan Yudea.

Pertanyaan murid-murid orang Farisi itu menempatkan Yesus pada posisi krusial dan kritis. Kalau Ia setuju, maka itu berarti Ia tidak menghormati rasa keagamaan orang-orang Yahudi dan ini akan mengobarkan semangat kebencian mereka kepada Yesus. Tetapi kalau ia menjawab tidak perlu, maka Ia pun dihadapkan dengan massa yang mendukung pemungutan pajak tanah itu. Yesus mengenali apa yang terjadi pada orang-orang ini: mereka ini mau sok-sok mencampuradukkan “urusan Kaisar” dan “urusan keagamaan”. Mereka mau menintegrasikan hidup bathin dengan mengurusi kehidupan dunia dalam perspektif kehidupan keagamaan. Namun mereka terjebak dalam kemunafikan. Seharusnya mereka memilih dan menentukan apa yang harus mereka lakukan untuk itu; mereka mampu membuat prioritas tindakan apa yang mereka lakukan. Tetapi alih-alih mereka bertindak, mereka memanfaatkan itu untuk mencobaik Yesus. Maka Yesus pun menjawab “Berikanlah kepada Kaisar apa yang WAJIB kamu berikan kepada Kaisar dan berikanlah kepada Allah, apa yang WAJIB kamu berikan kepada Allah”. Mereka tahu kewajiban-kewajiban mereka. Jadi tinggal melaksanakan saja! Jadi lakukanlah itu. Jadilah orang Yahudi yang otentik.

Ajakan yang sama juga berlaku pada kita. Kita adalah orang beriman yang hidup di dalam dunia nyata; kita seperti gandum yang tumbuh bersama dengan ilalang; kita ini seperti domba yang berada di tengah-tengah serigala. Pembaptisan kita menugasi kita untuk bertahan sampai kesudahannya sebagai orang yang dikhususkan Allah; tetapi kita juga dipanggil untuk menggarami dan menerangi dunia itu. Kita diutus untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dalam dunia ini. Bagaimana pun realitas dunia dan masyarkat di sekitar kita perlu kita geluti; namun kita harus tetap setia pada misi mewujudkan Kerajaan Allah. Dari pengalaman kita akan benar-benar dapat mewujudkannya bila kita setia pada perutusan itu; tetapi kita akan kehilangan arah, kalau kita menempatkan hal-hal duniawi atau kepentingan pribadi hanya pada level kemanusiaan saja.

Maka mari kita menjadi orang-orang kristiani yang otentik; orang yang dikhususkan Allah lewat pembaptisan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dan realitas masyarakat. Amin.